YLKI Himbau Publik Selamatkan Anak Indonesia dari Pengaruh Industri Rokok



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setiap 31 Mei, di seluruh dunia diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau se Dunia (HTTS), atau World No Tobacco Day. Pada HTTS 31 Mei 2024 tajuk yang diusung oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah Protecting Children from Tobacco Industry Interference. Atau dalam bahasa sederhananya adalah "Lindungi Anak dari Pengaruh Industri Rokok".

Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan, tema HTTS tahun 2024 relevan dengan kontekstualitas dan fenomena empirik di Indonesia.  Pertama, prevalensi merokok pada anak anak Indonesia saat ini sangat tinggi, yakni mencapai 9,1 persen.

“Ini mengalami lompatan yang signifikan sejak 5 (lima) tahun terakhir, yang semula 8,5 persen. Dan tragisnya fenomena tingginya prevalensi merokok di Indonesia menjadi yang tertinggi di dunia,” kata Tulus kepada KONTAN, Jumat (31/5).


Baca Juga: Neta Auto Indonesia Mulai Produksi Perdana Mobil Listrik di Indonesia

Tanpa adanya pengendalian dari sisi marketing, iklan, dan promosi, Tulus khawatir angkanya prevalensi merokok pada anak di Indonesia akan melambung menjadi 15%. Kedua, meningkatnya prevalensi merokok pada anak, tak lepas dari pengaruh (intervensi) industri rokok yang sangat masif melalui berbagai promosi dan iklan, di berbagai lini media.

Saat ini regulasi masalah iklan dan promosi rokok di Indonesia terkenal paling permisif di dunia. Termasuk iklan rokok (seperti baliho, poster) yang dipasang di dekat sekolah dan institusi pendidikan. Belum lagi iklan rokok di media televisi dan media elektronik lainnya. Dan yang makin mengkhawatirkan adalah iklan rokok di ranah media digital (internet) yang kini belum ada regulasinya.

Dalam temuan YLKI, industri rokok juga menggunakan jurus yang lain untuk memasarkan rokok pada anak dan remaja, yakni  pola penjualan langsung via Sales Promotion Girl (SPG). Belum lagi pola penjualan produk rokok yang tiada batas, makin memermudah anak anak menjangkau dan membeli rokok.

“Nyaris setiap jengkal tempat anak anak, remaja, dan orang dewasa bisa membeli rokok, via warung, kios, retail modern yang makin menjamur, pedagang kaki lima, plus pedagang asongan. Dan bisa dibeli secara ketengan pula,” ungkap Tulus.

Baca Juga: Operasional Terhenti 7 Jam, Ini Penjelasan MRT Jakarta

Ketiga, makin masifnya pengaruh industri rokok pada anak anak, remaja tak luput dari lemahnya regulasi pengendalian tembakau di Indonesia. Titah Presiden Joko Widodo untuk memerkuat regulasi dengan cara mengamandemen PP No. 109/2012, kandas hingga kini. “Dari Menkes Terawan hingga Menkes Budi Gunadi Sadikin, upaya mengamandemen PP 109/2012 lenggang kangkung begitu saja,” jelasnya.

Merujuk pada konfigurasi yang demikian, bukan berarti  harapan dan solusinya tertutup, untuk melindungi dan menyelamatkan anak anak dari paparan dan pengaruh industri rokok. Harapan  dari aspek regulasi yang akan mampu melindungi anak anak Indonesia dari pengaruh industri rokok adalah RPP Kesehatan, yang merupakan turunan/mandat dari UU No. 17 tentang Kesehatan. Kini pembahasan dan penggodogan RPP Kesehatan telah tuntas dan tinggal menunggu pengesahan oleh Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, menjadi sangat mendesak bagi Presiden Joko Widodo untuk segera mengesahkan RPP Kesehatan dimaksud, yang sudah mangkrak satu tahun lamanya. 

Menurut Tulus, jika Presiden Joko Widodo luput untuk mengesahkan RPP Kesehatan hingga ending masa jabatannya pada Oktober 2024, maka bukan mustahil bahwa bonus demografi pada 2030 dan generasi emas pada 2045, hanyalah mitos dan mimpi belaka. Dan sebaliknya, Presiden Joko Widodo justru akan mewariskan generasi yang sakit-sakitan, bodoh, dan miskin.

Baca Juga: BP Tapera Buka Suara Soal Manfaat Iuran Tapera

YLKI berharap agar Presiden Joko Widodo punya keberpihakan untuk mewariskan sebuah regulasi dan kebijakan yang positif untuk melindungi anak-anak dan remaja yang merupakan investasi bangsa ini, dengan cara mengesahkan RPP Kesehatan. “Jangan sampai anak-anak dan remaja Indonesia justru menjadi obyek eksploitasi bagi industri rokok, tersebab oleh lemahnya regulasi pengendalian tembakau,” tambah Tulus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri