KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak revisi UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen segera dibahas. Apalagi, revisi UU Perlindungan Konsumen telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2023. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengusulkan sejumlah hal masuk dalam revisi UU Perlindungan Konsumen.
Pertama, kelembagaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menjadi bagian organ pemerintah kabupaten/kota.
Kedua, YLKI mengusulkan pengaturan barang dan jasa diatur dalam pasal yang terpisah.
Baca Juga: Langgar Hak Konsumen Bakal Terkena Sanksi Pidana Anggota Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo menilai pengaturan terkait jasa mengarah pada
service provider. Sebab,
service provider bisa dilakukan pelaku usaha maupun pihak profesional.
Ketiga, terkait klausul baku. Saat ini pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Sudaryatmo mengatakan, pengaturan klausa baku terkait isu legal yang mestinya ditangani Kementerian Hukum dan HAM. “Jadi ini harus ada ketegasan terkait dengan apakah UU perlindungan konsumen didekati dengan isu
trade, isu legal atau
cross isu sehingga ada lintas kementerian,” ujar Sudaryatmo dalam konferensi pers, Jumat (20/1).
Keempat, mesti ada perlindungan konsumen di era ekonomi digital. Kelima, penguatan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Sudaryatmo mengatakan, dari sisi fungsi, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat berfungsi melakukan pengawasan dalam bentuk melakukan pengujian. YLKI meminta pemerintah bertanggungjawab terhadap penguatan kapasitas LPKSM, termasuk pendanaan. Sebab, di negara lain, sejumlah lembaga konsumen sebagian dananya dari pemerintah dalam menjalankan fungsi pengawasan. Menurut Sudaryatmo, fungsi pengawasan LPKSM melalui pengujian uji laboratorium terbilang masih minim. Padahal, uji laboratorium menjadi strategis dalam menjalankan fungsi pengawasan. “Jadi pengawasan tidak hanya dilakukan oleh regulator, tapi juga dilakukan masyarakat termasuk lembaga konsumen dalam bentuk tadi. Dia bisa melakukan
comparative testing, hasilnya itu bisa untuk advokasi, bisa untuk panduan konsumen,” jelas Sudaryatmo.
Baca Juga: RUU Perlindungan Konsumen Mulai Dilakukan Pembahasan di DPR Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, perlindungan konsumen untuk produk adiktif saat ini belum ada. Sebab itu, pengaturan perlindungan konsumen dari produk yang mengandung zat adiktif perlu dimasukkan dalam revisi UU perlindungan konsumen. Baik yang terkait dengan iklan, marketing, dan hal hal yang terkait produk adiktif.
“Itu menjadi urgent untuk penguatan perlindungan konsumen untuk diakomodir dalam UU perlindungan konsumen,” pungkas Tulus. Sebagai informasi, pada tahun 2022, YLKI menerima 882 pengaduan dari konsumen individu dan sekitar 200.000 pengaduan konsumen kelompok. Tercatat, pengaduan terkait jasa keuangan menjadi yang terbesar yakni 32,9%. Kemudian, pengaduan terkait transportasi (19%), pengaduan terkait belanja online (8,5%), pengaduan terkait perumahan (7,3%), dan pengaduan terkait minyak goreng (7,1%). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi