JAKRTA. Desakan untuk mengembangkan dan memaksimalkan energi alternatif semakin menguat. Terlebih setelah pemerintah memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Padahal potensi energi alternatif semisal gas sangat besar. Tak hanya itu, bahan bakar gas (BBG) jauh lebih ekonomis dan efisien. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, dari sekian kali kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG bersubsidi, pemerintah justru luput untuk membenahi penyediaan energi alternatif.
"Misal dari Rp 120 triliun penghematan subsidi BBM itu kemudian dialihkan ke infrastruktur termasuk pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di kota-kota besar atau membangun fasilitas energi baru dan terbarukan, sehingga konversi BBM ke BBG dan energi alternatif lainnya bisa lebih cepat," kata Tulus, Rabu (19/11). Ia menyarankan, dari nilai penghematan itu, bisa saja misal dialihkan Rp 30 triliun untuk konversi BBM ke BBG karena sampai saat ini hanya ada 19 SPBG. Itu pun belum maksimal karena kendaraan bermotor belum banyak memakai BBG termasuk angkutan umum. "Sering dikatakan membangun
mass rapid transit (MRT) cukup Rp 16 triliun, kenapa dialihkan kesana sekaligus membangun SPBG sekaligus penyediaan angkutan umum berbasis gas, karena program gasifikasi kendaraan umum juga sudah mendesak," tandasnya. Ia menjelaskan, program konversi ke gas di Indonesia yang dimulai pada 1998 hampir berbarengan dengan yang dijalankan di Pakistan. Kini hasilnya jauh berbeda. Pakistan sekarang mempunyai 3.000 SPBG. "Karena pemerintah Pakistan konsisten dengan rencana, kemudian dieksekusi sehingga program itu terlaksana. Di Indonesia terlalu banyak kepentingan," ujarnya. Padahal, dengan harga minyak yang mahal maka kebijakan menggunakan energi alternatif seperti gas sudah sangat mendesak. Dari sisi pasokan pun melimpah. "Sebenarnya seluruh alasan untuk tidak mempercepat gasifikasi kendaraan bermotor, justru menunjukkan bahwa ada kepentingan tertentu di balik itu," tegas Tulus. Dari hasil pengamatan di luar negeri, kata Tulus, di Guangzhou, Cina, busway dan transportasi di sana justru menggunakan gas dari lapangan Tangguh. Kemudian taksi-taksi di Malaysia pakai gas dari Indonesia. "Bahkan pembangkit di Singapura juga menggunakan gas dari Indonesia yang diambil langsung dari Natuna dan Sumatra Selatan. Sementara di kita, PLN seringkali kesulitan mendapat gas, dan bahkan banyak pembangkit listriknya masih menggunakan BBM, kelihatan sekali bahwa ada pihak-pihak tertentu yang lebih senang mengimpor minyak," tandasnya. Ia curiga, impor minyak yang terus dipertahankan mengindikasikan adanya kepentingan tertentu yang berkolaborasi dengan para mafia minyak, sehingga program konversi ke gas jadi lambat. "Importir minyak itu juga salah satu penghambat eksternal konversi, karena ada mafia mafia itu tadi. Revitalisasi kilang sangat seret," ungkapnya. Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengatakan, konversi ke BBG tak maksimal karena perencanaan yang dilakukan pemerintah tak sungguh-sungguh. "Ini terutama masalah lambatnya pengembangan infrastruktur, diduga ada konflik kepentingan dari pebisnis minyak yang tidak mau berkurang marginnya" ujar dia.
Komite Reformasi, kata Faisal, memang tidak akan secara langsung mendorong konversi. Namun, pertama-tama akan diidentifikasi lagi masalah apa saja yang menghambat untuk kemudian diberikan rekomendasi-rekomendasi perbaikan. "Kami akan berikan rekomendasi perbaikan," tegasnya. Hanya, ia menyarankan, pemerintah menggeber konversi ke BBG minimal di untuk angkutan publik di kota-kota besar terlebih dahulu secara sungguh-sungguh dengan memperbanyak infrastruktur penunjang. Pembangunan infrastruktur itu juga harus diberikan kemudahan. Ia berharap, agar konversi maksimal, semua pihak mendahulukan kepentingan bangsa dan mengurangi kepentingan pribadi dan golongan bicara. "Perlu tindakan tegas dari Pemerintah agar benturan kepentingan tersebut tidak berlarut larut" tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto