JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, perlindungan konsumen di negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia perlu dilakukan salah satunya dengan langkah sertifikasi halal.Namun, perlindungan konsumen acapkali terbentur persoalan harga sertifikasi. "Regulasi perlu diperkuat, selain UU perlindungan konsumen dan UU pangan. Cuma memang YLKI juga tidak setuju kalau regulasi (sertifikasi halal) diwajibkan," kata pengurus harian YLKI, Tulus Abadi, dihubungi Kompas.com, Jumat (28/2/2014).Ketidaksetujuan YLKI atas sifat mandatory (wajib) sertifikasi halal didasari kekhawatiran akan beban ekonomi yang ditanggung pengusaha. Manurut Tulus, ujung-ujungnya para pengusaha bakal mengalihkan beban ekonomi tersebut kepada konsumen.Masalah harga untuk mendapatkan label halal, diakui Tulus, menjadi salah satu hambatan perlindungan konsumen. Sejauh ini, hanya pengusaha misalnya makanan dan minuman yang besar saja yang bisa mengantongi label halal. Sementara, industri kecil menengah (IKM) sulit secara finansial untuk melabeli produknya dengan cap halal."Karena, membuat sertifikasi itu umumnya hanya bisa diakses pengusaha besar. MUI itu kan tidak bisa menjangkau ke IKM. Untuk membuat itu kan Rp 3- Rp 5 juta per produk, belum lagi biaya akomodasi," papar Tulus.Direktur LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, untuk mendapatkan sertifikasi halal dari MUI perusahaan harus merogoh kocek mulai dari Rp 0 hingga Rp 5 juta per produk, tergantung jenisnya, di luar biaya-biaya lain."Standar per sertifikat Rp 1 juta - Rp 5 juta untuk perusahaan menengah ke atas, dan untuk perusahaan kecil-menengah Rp 0 - Rp 2,5 juta. Ini di luar dari transportasi dan akomodasi, tergantung besar atau kecilnya perusahaan," kata Lukman, di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (26/2/2014).Biaya-biaya untuk mendapatkan sertifikat halal, lanjut Lukman, dibebankan ke perusahaan. Biaya tersebut merupakan biaya jasa yang digunakan untuk mengaudit on desk ataupun on site (lapangan). (Estu Suryowati)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
YLKI tak setuju sertifikasi halal bersifat wajib
JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, perlindungan konsumen di negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia perlu dilakukan salah satunya dengan langkah sertifikasi halal.Namun, perlindungan konsumen acapkali terbentur persoalan harga sertifikasi. "Regulasi perlu diperkuat, selain UU perlindungan konsumen dan UU pangan. Cuma memang YLKI juga tidak setuju kalau regulasi (sertifikasi halal) diwajibkan," kata pengurus harian YLKI, Tulus Abadi, dihubungi Kompas.com, Jumat (28/2/2014).Ketidaksetujuan YLKI atas sifat mandatory (wajib) sertifikasi halal didasari kekhawatiran akan beban ekonomi yang ditanggung pengusaha. Manurut Tulus, ujung-ujungnya para pengusaha bakal mengalihkan beban ekonomi tersebut kepada konsumen.Masalah harga untuk mendapatkan label halal, diakui Tulus, menjadi salah satu hambatan perlindungan konsumen. Sejauh ini, hanya pengusaha misalnya makanan dan minuman yang besar saja yang bisa mengantongi label halal. Sementara, industri kecil menengah (IKM) sulit secara finansial untuk melabeli produknya dengan cap halal."Karena, membuat sertifikasi itu umumnya hanya bisa diakses pengusaha besar. MUI itu kan tidak bisa menjangkau ke IKM. Untuk membuat itu kan Rp 3- Rp 5 juta per produk, belum lagi biaya akomodasi," papar Tulus.Direktur LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, untuk mendapatkan sertifikasi halal dari MUI perusahaan harus merogoh kocek mulai dari Rp 0 hingga Rp 5 juta per produk, tergantung jenisnya, di luar biaya-biaya lain."Standar per sertifikat Rp 1 juta - Rp 5 juta untuk perusahaan menengah ke atas, dan untuk perusahaan kecil-menengah Rp 0 - Rp 2,5 juta. Ini di luar dari transportasi dan akomodasi, tergantung besar atau kecilnya perusahaan," kata Lukman, di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (26/2/2014).Biaya-biaya untuk mendapatkan sertifikat halal, lanjut Lukman, dibebankan ke perusahaan. Biaya tersebut merupakan biaya jasa yang digunakan untuk mengaudit on desk ataupun on site (lapangan). (Estu Suryowati)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News