JAKARTA. Pasar domestik sebelumnya hanya jadi konsumsi pelaku industri dalam negeri. Adanya komitmen perjanjian perdagangan bebas memberikan imbas pada keharusan berbagi pasar dengan pelaku usaha dari negara lain. Meski demikian banyak negara yang melakukan pengamanan pasar domestik untuk memproteksi industri dalam negeri dari potensi kolaps akibat serbuan produk impor. Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menuturkan, setiap negara memiliki cara memproteksi pasar domestiknya dari serbuan barang impor rendah kualitas. Korea Selatan misalnya, melakukan pengaturan material bahan kemasan yang harus berkualifikasi untuk bahan makanan (food grade). Selain itu, Korea Selatan pun mengharuskan eksportir dan importir produk mencantumkan identitasnya. Plus, periode sirkulasi produk atau tanggal kedaluwarsa. Prancis, kurang lebih menerapkan aturan yang sama seperti Korea Selatan. Hanya, Prancis mengharuskan pelaku usaha asing menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang, diperbarui, dan digunakan kembali. "Prancis juga mengharuskan adanya penggunaan green logo," ujarnya, Senin (12/12). Prosedur proteksi pasar domestik di Chile sedikit lebih rumit. Negara itu mengharuskan adanya pengaturan kemasan yang berbahan kayu khususnya bertebal lebih dari 5 milimeter harus melalui proses pengeringan hingga 56 derajat Celcius selama 30 menit. Proses itu pun wajib diikuti dengan proses difumigasi untuk menghindari jamur. Di Malaysia, lanjut Bayu, produk impor mendapat pengaturan pencantuman label dengan menggunakan bahasa negara pengimpor. Misalnya, produk asal Indonesia harus menempelkan bahasa yang umum digunakan di Malaysia. Label untuk makanan segar contohnya, setidak-tidaknya wajib berisi informasi tentang nama, berat bersih, dan jumlah produk. Negara lainnya seperti Jepang, Swiss, China, Filipina, Vietnam, dan Uni Eropa menerapkan aturan khusus bernama low level present (LLP). LLP merupakan aturan tentang tercampurnya komoditi pertanian impor dengan produk transgenik berpresentasi kecil atau tidak sengaja. Sementara Indonesia, tutur Bayu, masih menggunakan beberapa ketentuan perlindungan konsumen. Seperti, standar nasional Indonesia (SNI), pencantuman label berbahasa Indonesia, kartu manual garansi dalam bahasa Indonesia, dan registrasi MD/ML untuk pangan olahan serta CD/CL untuk kosmetik. "Kebijakan ini bukan karena antiperdagangan. Justru ini untuk mewujudkan perdagangan yang adil dan transparan," katanya. Untuk mengandalkan SNI Wajib, katanya, relatif sulit. Apalagi dari 8.000 jenis produk yang memiliki SNI, baru sekitar 83 jenis yang dilindungi SNI Wajib. Sejauh ini perlindungan produk belum ber-SNI dilakukan melalui pembinaan dan pengawasan. Juga berbekal beberapa undang-undang. Seperti, Undang-undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang No 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, dan Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pelaku usaha pun diwajibkan mematuhi Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-undang No 13 tahun 2010 tentang Hortikultura. Selain mengandalkan instrumen itu, Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Nuz Nuzulia Ishak mengatakan, akan meningkatkan pengaturan/pengawasan/perlindungan produk. Hal itu akan dilakukan melalui detail penjelasan terkait jenis, negara asal, jumlah impor, ketentuan tentang spesifikasi produk, faktor-faktor risiko tertentu, kejelasan informasi produk, dan penetapan pintu masuk. Selain itu, pengaturan/pengawasan/perlindungan pun menyangkut perdagangan antarpulau, impor, dan jenis kemasan yang dipergunakan pada produk. Kebijakan perlindungan konsumen domestik itu akan difokuskan terhadap pangan segar, pangan olahan-kosmetik, pakaian-garmen-alas kaki, serta mainan anak-kerajinan-furnitur. Selanjutnya, alat elektronik-komunikasi, alat kebutuhan rumah tangga, dan lainnya. Perlindungan itu dilakukan mulai tahap umum, pramuat, perbatasan, hingga peredaran barang.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Yuk kita intip prosedur pengamanan pasar domestik tetangga tetangga
JAKARTA. Pasar domestik sebelumnya hanya jadi konsumsi pelaku industri dalam negeri. Adanya komitmen perjanjian perdagangan bebas memberikan imbas pada keharusan berbagi pasar dengan pelaku usaha dari negara lain. Meski demikian banyak negara yang melakukan pengamanan pasar domestik untuk memproteksi industri dalam negeri dari potensi kolaps akibat serbuan produk impor. Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menuturkan, setiap negara memiliki cara memproteksi pasar domestiknya dari serbuan barang impor rendah kualitas. Korea Selatan misalnya, melakukan pengaturan material bahan kemasan yang harus berkualifikasi untuk bahan makanan (food grade). Selain itu, Korea Selatan pun mengharuskan eksportir dan importir produk mencantumkan identitasnya. Plus, periode sirkulasi produk atau tanggal kedaluwarsa. Prancis, kurang lebih menerapkan aturan yang sama seperti Korea Selatan. Hanya, Prancis mengharuskan pelaku usaha asing menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang, diperbarui, dan digunakan kembali. "Prancis juga mengharuskan adanya penggunaan green logo," ujarnya, Senin (12/12). Prosedur proteksi pasar domestik di Chile sedikit lebih rumit. Negara itu mengharuskan adanya pengaturan kemasan yang berbahan kayu khususnya bertebal lebih dari 5 milimeter harus melalui proses pengeringan hingga 56 derajat Celcius selama 30 menit. Proses itu pun wajib diikuti dengan proses difumigasi untuk menghindari jamur. Di Malaysia, lanjut Bayu, produk impor mendapat pengaturan pencantuman label dengan menggunakan bahasa negara pengimpor. Misalnya, produk asal Indonesia harus menempelkan bahasa yang umum digunakan di Malaysia. Label untuk makanan segar contohnya, setidak-tidaknya wajib berisi informasi tentang nama, berat bersih, dan jumlah produk. Negara lainnya seperti Jepang, Swiss, China, Filipina, Vietnam, dan Uni Eropa menerapkan aturan khusus bernama low level present (LLP). LLP merupakan aturan tentang tercampurnya komoditi pertanian impor dengan produk transgenik berpresentasi kecil atau tidak sengaja. Sementara Indonesia, tutur Bayu, masih menggunakan beberapa ketentuan perlindungan konsumen. Seperti, standar nasional Indonesia (SNI), pencantuman label berbahasa Indonesia, kartu manual garansi dalam bahasa Indonesia, dan registrasi MD/ML untuk pangan olahan serta CD/CL untuk kosmetik. "Kebijakan ini bukan karena antiperdagangan. Justru ini untuk mewujudkan perdagangan yang adil dan transparan," katanya. Untuk mengandalkan SNI Wajib, katanya, relatif sulit. Apalagi dari 8.000 jenis produk yang memiliki SNI, baru sekitar 83 jenis yang dilindungi SNI Wajib. Sejauh ini perlindungan produk belum ber-SNI dilakukan melalui pembinaan dan pengawasan. Juga berbekal beberapa undang-undang. Seperti, Undang-undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang No 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, dan Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pelaku usaha pun diwajibkan mematuhi Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-undang No 13 tahun 2010 tentang Hortikultura. Selain mengandalkan instrumen itu, Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Nuz Nuzulia Ishak mengatakan, akan meningkatkan pengaturan/pengawasan/perlindungan produk. Hal itu akan dilakukan melalui detail penjelasan terkait jenis, negara asal, jumlah impor, ketentuan tentang spesifikasi produk, faktor-faktor risiko tertentu, kejelasan informasi produk, dan penetapan pintu masuk. Selain itu, pengaturan/pengawasan/perlindungan pun menyangkut perdagangan antarpulau, impor, dan jenis kemasan yang dipergunakan pada produk. Kebijakan perlindungan konsumen domestik itu akan difokuskan terhadap pangan segar, pangan olahan-kosmetik, pakaian-garmen-alas kaki, serta mainan anak-kerajinan-furnitur. Selanjutnya, alat elektronik-komunikasi, alat kebutuhan rumah tangga, dan lainnya. Perlindungan itu dilakukan mulai tahap umum, pramuat, perbatasan, hingga peredaran barang.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News