Yuk, lihat kebun kakao di utara Teluk Bone! (2)



KONTAN.CO.ID - Siang, itu sentra perkebunan kakao di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, khususnya di Desa Tarengge dan Desa Cendana tampak sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat lalu-lalang, membersihkan rumput liar di kebun yang terletak di sebelah rumahnya.   

Alexander, petani kakao asal Desa Tarengge mengajak KONTAN menyusuri kebunnya. Tak hanya kakao, Alex juga menanam jagung, pisang, jati, kelapa, bahkan durian di kebunnya. “Hasil panen berbagai tanaman ini bisa menjadi penghasilan tambahan kami," jelasnya.  
 
Sebab, jika hanya mengandalkan hasil panen kakao, petani harus menunggu cukup lama. Pohon kakao baru bisa berbuah setelah dua tahun penanaman. Jadi, sembari menunggu buah kakao, para petani memanfaatkan lahannya untuk menanam komoditas lain. “Kalau tanam baru dari bibit, kami harus tunggu dua tahun sampai berbuah. Makanya, kami tanam juga yang lain untuk pemasukan sehari-hari,” ujar Alex. 
 
Bahkan, dari pohon kakao, pria yang pernah merantau sampai ke Kalimantan itu tak hanya mengandalkan penjualan buahnya saja untuk mendapat uang. Ia juga melakukan pembibitan kakao.  
 
Alex menjual kakao yang setinggi 40 centimeter (cm) dengan harga Rp 5.000 per bibit. Penjualan bibit kakao di Desa Tarengge ternyata punya potensi yang lumayan baik. Alex bilang, dirinya bisa menjual ribuan bibit dalam sebulan. 
 
Pembeli bibit kakao dari Alex kebanyakan merupakan petani di sekitar Luwu Utara. "Kebanyakan pesan bibit untuk ditanam sendiri.  Biasanya, dalam sekali pembelian, para petani langsung membotong sekitar 50-100 bibit kakao," kata Alex.  Bahkan, bila ada yang pesan lebih dulu, mereka bisa minta hingga 1.000 bibit kakao. 
 
Menjual bibit untuk pemasukan tambahan juga dilakukan oleh Asep Ruhli Hakim, petani kakao asal Desa Cendana. Ia menjual bibit kakao sejak awal menjadi petani kakao karena melihat besarnya potensi penjualan bibit. “Sudah lama, sekitar tujuh atau delapan tahun lalu, karena saya lihat masyarakat sini akhirnya banyak yang tertarik untuk bertanam kakao,” ujarnya.
 
Baik Asep maupun Alex memperbanyak bibit kakao dengan metode sambung pucuk. Menurut mereka berdua, sambung pucuk adalah metode paling efisien dan cepat dibanding cangkok atau stek. “Sambung pucuk ya caranya menyambung pucuk daun kakao dengan batang utama. Ini sudah metode paling cepat, kurang dari sebulan saja bisa tumbuh,” terang Asep.
 
Ia bilang, masing-masing petani di sini punya cara sendiri untuk mendapatkan indukan tanaman kakao. “Kalau di kebun saya ini hanya ada tiga klon tanaman kakao. Ketiganya saya dapatkan dengan cara berbeda. Ada yang dapat dari pemerintah, ada yang dibuang oleh orang kemudian saya pungut dan ternyata tumbuh. Dan yang terakhir saya dapat dari tetangga,” ungkapnya. 
 
Asep bilang, di sekitar Luwu Timur ini hanya ada sekitar dua sampai tiga klon kakao yang dibudidayakan. Alasannya, tiap klon tanaman kakao belum tentu cocok dengan iklim serta kondisi tanah di kabupaten yang terletak di utara Teluk Bone tersebut. “Tidak semua klon cocok dan bisa bertahan di sini. Selama lebih dari 20 tahun, hanya tiga klon itu yang bisa bertahan,” terang Asep.                    
 
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Johana K.