Yuk, menguji taji saham-saham properti!



JAKARTA. Indonesia, boleh dikata, kenyang dengan sanjungan sebagai salah satu kekuatan ekonomi yang masih bertahan tumbuh tinggi di tengah kelesuan perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi RI tahun 2012 berkisar 6,3%, kedua tertinggi setelah China.

Pertumbuhan itu terutama didukung oleh konsumsi domestik yang tinggi. Daya beli masyarakat terus melaju. Indonesia ibarat orang kaya baru yang tengah gemar-gemarnya berbelanja. Bagi para produsen, karakter pasar yang demikian tentu saja membuat senang.

Buntutnya, pencapaian kinerja penjualan perusahaan di berbagai sektor bisnis, terutama yang mengandalkan daya beli domestik, cemerlang. Tak terkecuali kinerja para pengembang properti, baik perumahan, apartemen, perkantoran, mal, maupun kawasan industri.


Permintaan landed house, misalnya, melaju di tengah masih tingginya kebutuhan rumah orang Indonesia. “Harga rumah tahun lalu kenaikannya memang luar biasa, berkisar 30%-40%,” ujar Natalia Sutanto, analis properti Bahana Securities.

Tak heran, beberapa emiten mencatatkan pendapatan bejibun dari penjualan rumah tinggal. Performa saham-saham properti di Bursa Efek Indonesia (BEI) turut melambung. Indeks saham properti melejit 54,5% dalam setahun terakhir, memecahkan rekor tertinggi di level 364,25 (30/1).

Saham-saham properti seperti SMRA dan LPKR berhasil memberikan imbal hasil di atas 50%, tahun lalu. Disusul CTRA dan ASRI dengan imbal hasil mencapai 40% dan 28%.

Di mata analis, sektor properti residensial kemungkinan akan sedikit melandai tahun ini. Kenaikan harga luar biasa dalam 1 tahun–2 tahun terakhir akan mengerem laju harga rumah. “Mungkin hanya naik 10%–15% tahun ini,” prediksi Natalia.

Proyek komersial

Kendati tren perumahan diperkirakan melambat, para analis menilai, prospek emiten properti masih menjanjikan. Asumsi itu didasarkan pada prediksi berlanjutnya arus investasi asing langsung pada tahun ini. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, tahun 2012, ada janji investasi langsung asing senilai Rp 868,3 triliun. Sedangkan yang terealisasi baru sebesar Rp 313 triliun, tumbuh 25% dari tahun sebelumnya.

Itu berarti, masih ada potensi realisasi investasi senilai Rp 555 triliun tahun ini. Bagi emiten properti, hal itu menjanjikan peluang peningkatan permintaan perkantoran baru, juga kawasan industri. Inilah yang menjadikan prospek emiten yang menggarap kawasan industri sedikit lebih menarik dibandingkan emiten properti rumahan. “Terutama untuk jangka panjang,” ujar Triwira Tjandra, analis Ciptadana Securities.

Selain itu, beberapa harga saham emiten properti berkapitalisasi besar sudah naik signifikan. Misalnya, saham ASRI naik 33%  sejak awal tahun hingga akhir Januari 2013 ke level Rp 800 per saham. “Kenaikan big caps properti sudah terbatas, lebih menarik mengoleksi yang valuasinya masih murah,” imbuh Triwira.

Investor juga perlu mencermati emiten properti yang giat berekspansi ke luar Jawa. Ini untuk mengantisipasi kejenuhan pasar rumah tapak dan apartemen di Jakarta.    Ingin ulasan lebih detail? Simak analisis berikut ini:

1. PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA)

PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) digadang-gadang para analis menjadi primadona baru emiten properti dan real estat. Tahun 2012 menjadi pembuktian kinerja apik perusahaan ini. Manajemen Surya Semesta memperkirakan, laba bersih tahun lalu menembus Rp 700 miliar, naik tiga kali lipat dibandingkan pencapaian 2011. Adapun pendapatan tahun lalu diprediksi tumbuh 14% dari tahun 2011 menjadi Rp 3,3 triliun. “Kinerja mereka melampaui ekspektasi,” kata Triwira.

Tahun ini, manajemen Surya Semesta menargetkan pertumbuhan pendapatan 30% mencapai Rp 4,3 triliun dan laba bersih Rp 850 miliar.Saat ini, kontribusi kawasan industri bagi pendapatan mencapai 36%. Sumbangan terbesar berasal dari sektor konstruksi dan infrastruktur, yakni 50%. Pendapatan Surya Semesta juga datang dari sektor perhotelan yang memberikan margin 13%. Proyek terbaru yang berhasil dikantongi Surya Semesta adalah jalan tol Cikampek–Palimanan dengan nilai kontrak sebesar Rp 7,7 triliun.

Di antara kelebihannya, investor perlu mencermati ketersediaan lahan (landbank) Surya Semesta yang sangat minim, yaitu cuma 230 hektare (ha) hingga akhir tahun lalu. Perseroan ini memang mengincar akuisisi 1.000 ha lahan baru. Jika tidak terealisasi, kondisi itu bisa mengancam kinerja emiten ini ke depan.

Maklumlah, meski kontribusi lahan industri ke pendapatan tidak dominan, margin sektor itu paling tinggi, yakni mencapai 75%. Bandingkan dengan sektor konstruksi dan infrastruktur yang cuma 12%.

Pengamat pasar modal Kiswoyo A. Joe menilai, dari sisi pendanaan, Surya Semesta tidak kesulitan merealisasikan penambahan landbank itu. Pasalnya, utangnya terbilang kecil. Rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) Surya Semesta per September 2012 sebesar 0,48 kali.

Alhasil, dia merekomendasikan beli saham SSIA dengan target harga Rp 2.500 per saham. Triwira juga merekomendasikan beli dengan target harga Rp 1.740 per saham.  Kamis (31/1), saham SSIA dihargai Rp 1.390 per saham.

2. PT MNC Land Tbk (KPIG)

Perusahaan properti milik taipan Hary Tanoesoedibjo ini mulai menggeliat. Pekan lalu, PT MNC Land Tbk mengumumkan niatnya menggarap bisnis  resor. Menggandeng PT Gobel International, MNC Land akan membangun resor Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Mandalika adalah kawasan wisata terpadu. Direktur MNC Land Dipa Simatupang mengungkapkan, untuk tahap pertama, MNC Land akan membangun hotel, resor, lapangan golf, dan permukiman golf seluas 164 ha dari total lahan 1.259 ha. Mandalika kelak akan dikelola oleh Club Mediterranee, operator kawasan pariwisata skala global yang kini mengelola resor di Italia dan Turki.

Kiswoyo menilai, langkah itu strategis karena Lombok makin kukuh menjadi destinasi pilihan di luar Bali. MNC Land memang harus merogoh modal besar untuk membangun infrastruktur. Namun, itu tidak jadi soal karena tingkat utang emiten ini relatif rendah, yaitu 1,3 kali. “Dan, ada jaminan nama besar MNC Group,” imbuh Kiswoyo.

Per September 2012, DER MNC Land berada di level 1,3 kali. Hanya saja, MNC Land menghadapi risiko perang harga antarkawasan resor, seperti yang terjadi di Bali.

Prediksi Kiswoyo, pendapatan dari Mandalika cuma akan melesat di dua tahun pertama. Setelah itu, pendapatan akan relatif stagnan karena perang harga. “Theme park Lido kelak akan lebih menguntungkan jika sudah dikuasai MNC Land,” imbuhnya. Alasannya, lokasinya di Jawa yang memiliki infrastruktur lebih memadai.

Sayang, saham KPIG kini sudah terlalu mahal. Di harga Rp 1.370 per saham (31/1), price to earning ratio (PER) KPIG mencapai 44,7 kali. Jadi, Kiswoyo merekomendasikan trading buy KPIG.

3. PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE)

Pengembang kawasan Serpong, Tangerang, ini berhasil membukukan marketing sales Rp 4,28 triliun, tahun lalu. Angka ini tumbuh 24% ketimbang setahun sebelumnya. Penjualan perumahan menyumbang Rp 2,2 triliun. “Di antara peers-nya, marketing sales Bumi Serpong yang tertinggi dari sisi nominal,”  kata B. Agung Swandono, analis Samuel Sekuritas.

Nilai tersebut hanya mencakup 7% dari perhitungan nilai aset bersih atau nett asset value (NAV) Bumi Serpong yang mencapai Rp 69 triliun. Ini menjadikan BSDE sebagai salah satu pengembang dengan tingkat turnover paling rendah. “Artinya, perseroan ini punya ruang cukup untuk menaikkan penjualan,” ujar Agung.

Tak heran, manajemen pede memasang target marketing sales hingga Rp 7,02 triliun tahun ini atau naik 64%. Sepanjang tahun lalu, saham BSDE tercatat underperform ketimbang sektor dan saham sejenis, dengan return cuma 13%. Tertekannya BSDE akibat spekulasi isu rights issue untuk pendanaan akuisisi proyek Delta Mas.

Padahal, jika melihat posisi kasnya yang tinggi, yaitu Rp 4,6 triliun per 30 September 2012, ditambah fasilitas emisi obligasi berkelanjutan Rp 2 triliun, Bumi Serpong tak punya alasan untuk rights issue.

Menilik strategi perusahaan ini untuk meningkatkan turnover, Agung memprediksi, pendapatan dan laba bersih Bumi Serpong bakal melejit 41% dan 46% di tahun ini. “Rekomendasi kami beli BSDE dengan kenaikan target harga baru di Rp 1.830 per saham,” ujarnya.

Target harga baru itu mencerminkan diskon 55% dari NAV BSDE. Kenaikan proyeksi laba  juga menurunkan price to earning ratio (PER) BSDE menjadi 12,4 kali, 19% lebih rendah dari valuasi sektornya. Kamis (31/1), harga saham BSDE baru Rp 1.400 per saham.4. PT Bakrieland Development Tbk (ELTY)

Emiten Grup Bakrie ini mengaku tengah bersibuk ria membenahi kondisi keuangannya yang amburadul. Maklumlah, beban utang PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) terbilang besar, yakni mencapai Rp 5 triliun dengan bunga rata-rata 15% per tahun.

Sebanyak Rp 1,4 triliun berupa utang dalam dollar Amerika Serikat. Tahun ini, utang jatuh tempo Bakrieland mencapai Rp 280 miliar.

Salah satu strateginya adalah   dengan melepas aset-aset non-properti dengan yield rendah. Yang sudah pasti adalah penjualan PT Bakrie Toll Road, pemilik lima konsesi jalan tol, senilai Rp 2 triliun, kepada Hary Tanoesoedibjo. Penjualan itu sepaket dengan pelepasan aset di Lido Resort senilai Rp 1 triliun. Dus, total transaksi dengan MNC Group itu mencapai Rp 3 triliun.

Bukan cuma itu, Bakrieland juga berniat melepas 3,75% sahamnya di PT Aetra Air Jakarta. Aset tanah 40 ha di Gunung Ijeng, Malang, juga dilepas.

Direktur Utama Bakrieland Development Ambono Januarianto berujar, langkah-langkah itu bisa menekan DER ELTY dari 0,71 kali menjadi 0,42 kali. Selanjutnya, untuk jangka pendek, Bakrieland akan memfokuskan bisnisnya di landed property.

Saat ini, perusahaan ini tengah mencari investor yang bisa digandeng untuk mengembangkan resor kelas menengah ke atas di Bali. Di Pulau Dewata itu, Bakrieland punya Pullman Bali Legian Nirwana dan Pan Pacific Nirwana Bali Resort. Bakrieland mengaku telah menyiapkan belanja modal Rp 1 triliun tahun ini. Dananya berasal kas internal dan pinjaman.

Para analis mengaku sulit menilai keseriusan langkah-langkah Bakrieland membenahi kondisi keuangannya. “Kalau persoalannya menyangkut good corporate governance, sudah susah,” komentar Natalia.

Tapi, jika diasumsikan penjualan aset ke MNC Group tuntas di awal tahun ini, laporan keuangan kuartal I-2013 ELTY seharusnya bisa positif.

Ketimbang kecele, analis menyarankan agar investor menunggu dulu hasil dari aksi berbenah Bakrieland ini sebelum membeli ke sahamnya. Para analis pun memilih tak memberi rekomendasi atas saham ini.      o

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ruisa Khoiriyah