Sudah jamak terjadi, orang bisa sukses menggeluti bisnis yang berawal dari hobi, seperti Yuliana Lim. Penggemar tas anyaman rotan ini akhirnya terjun menjadi perajin tas dan menjadi pionir produsen tas dari rotan sintesis.Padahal, datangnya ide untuk membuat tas anyaman ini sangat sederhana. Sebagai penyuka tas rotan, ia kerap mendapati batang-batang rotan yang patah dan melukai kulitnya. Dari kejadian itu, sang suami, Lim Marsulin, mendapat ide untuk membuat tas dari rotan sintesis. “Suami yang menantang saya untuk mencoba bikin tas dari rotan sintetis, karena kebetulan dia adalah pebisnis furnitur dari bahan tersebut,” jelas Yuliana. Tanpa banyak pertimbangan, Yuliana yang waktu itu baru saja keluar bekerja dari sebuah perusahaan garmen segera memulai langkahnya. Soalnya, menurut dia, rotan sintetis yang awet itu mudah dirawat dan corak cukup beragam cocok untuk bahan tas. Dari bahan bakunya, rotan sintetis juga tidak mempunyai efek samping terhadap kesehatan. Dimulai pada 2008, dengan modal hasil angpau pernikahannya, perempuan asal Sukabumi ini berburu perajin tas anyaman di Yogyakarta. Ia ingin memesan tas ke perajin itu dengan membawa bahan-bahan sesuai keinginannya. “Saat merintis usaha ini, saya mondar-mandir, antara Jakarta–Yogya, karena memang banyak perajin tas anyaman yang andal di sana,” ujar dia.Sayang, dari banyak perajin tas itu, Yuliana tak mendapatkan hasil anyaman dengan kualitas sesuai keinginannya. Dari pengalaman ke banyak perajin, dia menemukan satu kendala, yakni pada bahan yang disodorkan. Berbeda dengan bahan rotan yang lebih kesat, rotan sintesis yang terbuat dari sejenis plastik licin. “Jadi, susah menganyamnya. Sudah begitu, bahan ini juga keras hingga sulit dijahit,” seru ibu dua putri ini. Waktu setahun pun terbuang percuma. Tak hanya itu, berbagai uji coba dengan perajin juga mengikis modalnya. “Modal yang mengalir hampir mencapai seratusan juta, saya juga menjual mobil untuk menambal modal lagi,” kata Yuliana. Kendati gagal menemukan perajin tas anyaman untuk rotan sintesis, tekad Yuliana untuk merintis bisnis tas tidak goyah. Lantas, dia mengubah strategi, tak lagi memesan tas pada perajin, tapi merekrut pekerja untuk dilatih menganyam rotan sintesis dan membuat tas dari bahan tersebut. Target pasar tepatSetelah tiga bulan mengasah keterampilan menganyam dan menjahit rotan sintetis, produksi tas pun dimulai. Dibantu tiga perajin, dia membuat tas belanja dari anyaman yang dipadu kanvas. “Pakai kanvas karena saya membidik pasar ekspor,” kata alumnus Universitas Tarumanegara ini. Awalnya, tas Chameo Couture dipasarkan ke New Jersey, Amerika Serikat, lewat kenalannya di sana.Dari keuntungan menjual tas itu, Yuliana membuka gerai di FX Senayan pada 2009. Kebetulan, pada masa itu, tren fashion dalam negeri sedang bangkit. Dia pun tergiur untuk mencicipinya, karena memang belum ada perajin tas yang menganyam rotan sintetis di Indonesia.Namun, tak asal menjual tas, Yuliana juga mematangkan konsepnya dalam berbisnis. Sejak awal, dia sudah menetapkan target pasarnya, yakni hanya konsumen B+ dan A-. Karena itu, ia tak main-main dengan kualitas tas produksinya, baik dari bahan baku maupun proses pembuatan. Lantas, Yuliana mulai menancapkan brand-nya melalui pameran kerajinan bergengsi. Intuisinya cukup jitu. Tas Chameo pun mendapat sambutan baik di pasar domestik. Pada 2011, Yuliana mulai memadukan kain-kain tradisional pada tas koleksinya. Sebagai pecinta fashion, Yuliana cukup jeli menemukan corak kain daerah yang memikat mata. Dia juga makin lihai memadukan kain itu dengan ragam anyaman rotan sintesis. Meski penjualannya banyak terserap pasar lokal, berbagai undangan ajang internasional pun datang menghampiri Yuliana. Tahun 2011 misalnya, Chameo tampil dalam Japan Fashion Week. Menyusul kemudian Hongkong Fashion Week dan Pret a Porter di Paris, Prancis, pada 2013 lalu. “Ini menjadi bukti adanya pengakuan terhadap produk Chameo yang berkelas,” kata perempuan berumur 33 tahun ini. Kini, Yuliana mempekerjakan sekitar 30 perajin tas terlatih di workshop yang berlokasi di Pluit, Jakarta Utara. Untuk menjaga kualitas, pembuatan tas tetap dilakukan dengan tangan, termasuk anyaman rotan sintesis. Jenis tas Chameo pun terus berkembang. Berbagai model ditawarkan, mulai dari handbag, tote bag, satchel bag, dan kelly bag, dengan harga mulai Rp 1,2 juta hingga Rp 4,8 juta. Saban bulan, Yuliana mampu membuat hingga 1.000 tas. Ke depan, Yuliana masih terus mengembangkan pasarnya, khususnya di daerah yang belum terjamah oleh department store yang menjadi kepanjangan tangannya. Dia pun telah menyiapkan program reseller bagi pasar tersebut. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Yuliana meraup untung dari tas rotan sintetis
Sudah jamak terjadi, orang bisa sukses menggeluti bisnis yang berawal dari hobi, seperti Yuliana Lim. Penggemar tas anyaman rotan ini akhirnya terjun menjadi perajin tas dan menjadi pionir produsen tas dari rotan sintesis.Padahal, datangnya ide untuk membuat tas anyaman ini sangat sederhana. Sebagai penyuka tas rotan, ia kerap mendapati batang-batang rotan yang patah dan melukai kulitnya. Dari kejadian itu, sang suami, Lim Marsulin, mendapat ide untuk membuat tas dari rotan sintesis. “Suami yang menantang saya untuk mencoba bikin tas dari rotan sintetis, karena kebetulan dia adalah pebisnis furnitur dari bahan tersebut,” jelas Yuliana. Tanpa banyak pertimbangan, Yuliana yang waktu itu baru saja keluar bekerja dari sebuah perusahaan garmen segera memulai langkahnya. Soalnya, menurut dia, rotan sintetis yang awet itu mudah dirawat dan corak cukup beragam cocok untuk bahan tas. Dari bahan bakunya, rotan sintetis juga tidak mempunyai efek samping terhadap kesehatan. Dimulai pada 2008, dengan modal hasil angpau pernikahannya, perempuan asal Sukabumi ini berburu perajin tas anyaman di Yogyakarta. Ia ingin memesan tas ke perajin itu dengan membawa bahan-bahan sesuai keinginannya. “Saat merintis usaha ini, saya mondar-mandir, antara Jakarta–Yogya, karena memang banyak perajin tas anyaman yang andal di sana,” ujar dia.Sayang, dari banyak perajin tas itu, Yuliana tak mendapatkan hasil anyaman dengan kualitas sesuai keinginannya. Dari pengalaman ke banyak perajin, dia menemukan satu kendala, yakni pada bahan yang disodorkan. Berbeda dengan bahan rotan yang lebih kesat, rotan sintesis yang terbuat dari sejenis plastik licin. “Jadi, susah menganyamnya. Sudah begitu, bahan ini juga keras hingga sulit dijahit,” seru ibu dua putri ini. Waktu setahun pun terbuang percuma. Tak hanya itu, berbagai uji coba dengan perajin juga mengikis modalnya. “Modal yang mengalir hampir mencapai seratusan juta, saya juga menjual mobil untuk menambal modal lagi,” kata Yuliana. Kendati gagal menemukan perajin tas anyaman untuk rotan sintesis, tekad Yuliana untuk merintis bisnis tas tidak goyah. Lantas, dia mengubah strategi, tak lagi memesan tas pada perajin, tapi merekrut pekerja untuk dilatih menganyam rotan sintesis dan membuat tas dari bahan tersebut. Target pasar tepatSetelah tiga bulan mengasah keterampilan menganyam dan menjahit rotan sintetis, produksi tas pun dimulai. Dibantu tiga perajin, dia membuat tas belanja dari anyaman yang dipadu kanvas. “Pakai kanvas karena saya membidik pasar ekspor,” kata alumnus Universitas Tarumanegara ini. Awalnya, tas Chameo Couture dipasarkan ke New Jersey, Amerika Serikat, lewat kenalannya di sana.Dari keuntungan menjual tas itu, Yuliana membuka gerai di FX Senayan pada 2009. Kebetulan, pada masa itu, tren fashion dalam negeri sedang bangkit. Dia pun tergiur untuk mencicipinya, karena memang belum ada perajin tas yang menganyam rotan sintetis di Indonesia.Namun, tak asal menjual tas, Yuliana juga mematangkan konsepnya dalam berbisnis. Sejak awal, dia sudah menetapkan target pasarnya, yakni hanya konsumen B+ dan A-. Karena itu, ia tak main-main dengan kualitas tas produksinya, baik dari bahan baku maupun proses pembuatan. Lantas, Yuliana mulai menancapkan brand-nya melalui pameran kerajinan bergengsi. Intuisinya cukup jitu. Tas Chameo pun mendapat sambutan baik di pasar domestik. Pada 2011, Yuliana mulai memadukan kain-kain tradisional pada tas koleksinya. Sebagai pecinta fashion, Yuliana cukup jeli menemukan corak kain daerah yang memikat mata. Dia juga makin lihai memadukan kain itu dengan ragam anyaman rotan sintesis. Meski penjualannya banyak terserap pasar lokal, berbagai undangan ajang internasional pun datang menghampiri Yuliana. Tahun 2011 misalnya, Chameo tampil dalam Japan Fashion Week. Menyusul kemudian Hongkong Fashion Week dan Pret a Porter di Paris, Prancis, pada 2013 lalu. “Ini menjadi bukti adanya pengakuan terhadap produk Chameo yang berkelas,” kata perempuan berumur 33 tahun ini. Kini, Yuliana mempekerjakan sekitar 30 perajin tas terlatih di workshop yang berlokasi di Pluit, Jakarta Utara. Untuk menjaga kualitas, pembuatan tas tetap dilakukan dengan tangan, termasuk anyaman rotan sintesis. Jenis tas Chameo pun terus berkembang. Berbagai model ditawarkan, mulai dari handbag, tote bag, satchel bag, dan kelly bag, dengan harga mulai Rp 1,2 juta hingga Rp 4,8 juta. Saban bulan, Yuliana mampu membuat hingga 1.000 tas. Ke depan, Yuliana masih terus mengembangkan pasarnya, khususnya di daerah yang belum terjamah oleh department store yang menjadi kepanjangan tangannya. Dia pun telah menyiapkan program reseller bagi pasar tersebut. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News