Yuliati Umrah termasuk memiliki kepedulian tinggi terhadap anak-anak jalanan yang menjadi korban kemiskinan di Surabaya, Jawa Timur. Dengan mendirikan LSM ALIT, ia memberikan pelatihan keterampilan kepada anak jalanan agar mereka bisa hidup lebih baik, mandiri secara ekonomi dan tidak menjadi komoditas politik di kemudian hari.Berawal dari pembuatan tugas skripsi sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana ilmu politik, Yuliati Umrah aktif terlibat dengan anak-anak jalanan. Setelah mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Arek Lintang (ALIT), ia berhasil memberdayakan anak-anak jalanan binaannya sehingga mampu mengembangkan produk-produk kerajinan tangan yang diekspor ke Jepang, Australia, Bolivia, dan Belanda.Perempuan yang lahir di Pamekasan, Madura, 35 tahun lalu, ini mengenyam bangku kuliah di Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas Airlangga. Ilmu yang ia peroleh serta aktivitas berorganisasi mengasah kepedulian yang tinggi terhadap kondisi sosial-politik di sekitarnya. Saat harus menyelesaikan skripsi untuk tugas akhir pada tahun 1996, ia pun memfokuskan pada kemiskinan kota dan kaum marjinal (terpinggirkan). Selama periode itu, ia aktif terlibat dengan anak-anak jalanan di daerah timur Surabaya, yang kebanyakan mengemis, menjual koran dan menjadi pengamen.Namun, saat itu, ia hanya terpikir untuk segera menyelesaikan skripsinya. Sambil mengerjakan skripsi, ia pun aktif ikut berbagai Lomba Karya Tulis Indonesia (LKTI). Setelah skripsinya usai dan sering memenangkan lomba, Yuliati pun bingung memanfaatkan uang hasil lomba itu. Lantas, ia memutuskan untuk kembali mengumpulkan anak-anak jalanan yang dulu sempat menjadi objek penelitiannya. "Saya sudah telanjur cinta dengan mereka," kenangnya.Yuliati pun berniat memberdayakan anak-anak yang berjumlah sekitar 20 orang agar bisa mandiri secara ekonomi. Mereka yang usianya rata-rata 10 tahun hingga 12 tahun itu terdiri dari anak-anak putus sekolah atau yang memang tidak bersekolah sama sekali. Ia pun mendirikan komunitas Solidaritas Anak Jalanan Anti Kekerasan (SAJAK) sebagai wadah bagi anak jalanan agar bisa keluar dari kemiskinan lewat kemandirian ekonomi.Sebenarnya, Yuliati ingin langsung mendirikan LSM secara resmi. Mengingat zaman orde baru tidak mudah mendirikan organisasi masyarakat, ia memilih sebuah komunitas. Setelah situasi politik lebih mendukung, baru pada tahun 1999, ALIT berdiri. Latar belakang pendirian LSM tersebut, karena Yuliati yakin, untuk mengatasi masalah kemiskinan dan anak-anak terlantar harus ada perubahan sistem politik. "Dan itu harus diawali dengan kemandirian ekonomi," tegasnya. Ia pun mengajarkan life skill development. Intinya, anak-anak itu bisa merespon segala masalah dari luar dengan kemampuan sendiri.Untuk mendukung segala kebutuhan operasional ALIT yang baru berdiri, Yuliati menggunakan penghasilannya sebagai konsultan anak dan Hak Asasi Manusia (HAM). Saat ini, ia memperoleh dana US$ 150 per hari untuk klien nasional dan US$ 250 per hari untuk klien luar negeri.Yuliati lebih fokus pada pelatihan pembuatan kerajinan tangan seperti bingkai foto dari kulit telur, pernak-pernik batik serta furnitur bambu. Saat dipasarkan pertama kali, Yuliati baru menawarkan sebatas teman dan dosen di kampusnya lantaran belum punya nama. Ia juga menggunakan hasil karya anak-anak ini untuk suvenir pernikahannya sendiri. "Dari sinilah, penjualan terus meningkat," ujarnya. Kemampuan Yuliati dalam memasarkan produk-produk tidak terlepas dari kebiasaannya yang sejak kecil sudah biasa berdagang. Saat itu, Yuliati belajar mencari uang saku tambahan sendiri karena tidak berani meminta ke orang tuanya. Terlebih, orangtuanya bukan tipe yang suka memanjakan anak-anaknya. Ia berjualan tas kresek di pasar atau jual kembang api setiap menjelang Ramadhan.Setelah berjalan sekian lama, usaha anak-anak ini terus berkembang. Saat ini, produk-produk ALIT sudah sampai ke luar negeri, mulai dari Jepang hingga Belanda. Hal ini tidak terlepas dari relasi luas yang dimiliki oleh Yuliati. Maklum, ia juga menjadi konsultan bagi LSM-LSM asing yang akan melakukan penelitian di Indonesia.Untuk melindungi anak-anak jalanan dari tekanan para orangtua yang sering menyuruh mereka mengemis, Yuliati membuat sebuah perjanjian dengan masing-masing orangtua. Intinya, penghasilan dari pembuatan kerajinan tangan yang mencapai Rp 500.000 per bulan akan dicabut kalau anak-anak tersebut kedapatan kembali mengemis. Yang menarik, ALIT juga mewadahi para orang tua anak jalanan tersebut. Mereka diperbantukan untuk ikut serta dalam bagian produksi. Saat ini, 20 anak jalanan angkatan ALIT pertama sudah menjadi pimpinan di bagian produksi dan toko yang ada di Upper Ground Royal Plaza, Surabaya. Sedangkan secara total, ALIT mengelola 60 anak jalanan dan 36 orang tua.Yuliati pun memiliki impian anak-anak binaannya terus bisa berkarya dan memperluas pangsa pasarnya. Alhasil, mereka bisa mandiri secara ekonomi. "Tujuannya, mereka tidak hanya jadi komoditas politik ketika menjelang pemilu," harapnya.Yuliati juga berharap memiliki sebuah toko besar yang menjual berbagai karya kerajinan dari material bambu. Hingga kini, ALIT sudah punya perkebunan bambu di daerah Mojokerto. Ia kembali bermimpi, empat tahun mendatang bisa memanen bambu dari kebun sendiri dan hasil panen itu bisa dipakai untuk material pengganti kayu.
Yuliati Umrah, melatih anak jalanan agar punya penghasilan
Yuliati Umrah termasuk memiliki kepedulian tinggi terhadap anak-anak jalanan yang menjadi korban kemiskinan di Surabaya, Jawa Timur. Dengan mendirikan LSM ALIT, ia memberikan pelatihan keterampilan kepada anak jalanan agar mereka bisa hidup lebih baik, mandiri secara ekonomi dan tidak menjadi komoditas politik di kemudian hari.Berawal dari pembuatan tugas skripsi sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana ilmu politik, Yuliati Umrah aktif terlibat dengan anak-anak jalanan. Setelah mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Arek Lintang (ALIT), ia berhasil memberdayakan anak-anak jalanan binaannya sehingga mampu mengembangkan produk-produk kerajinan tangan yang diekspor ke Jepang, Australia, Bolivia, dan Belanda.Perempuan yang lahir di Pamekasan, Madura, 35 tahun lalu, ini mengenyam bangku kuliah di Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas Airlangga. Ilmu yang ia peroleh serta aktivitas berorganisasi mengasah kepedulian yang tinggi terhadap kondisi sosial-politik di sekitarnya. Saat harus menyelesaikan skripsi untuk tugas akhir pada tahun 1996, ia pun memfokuskan pada kemiskinan kota dan kaum marjinal (terpinggirkan). Selama periode itu, ia aktif terlibat dengan anak-anak jalanan di daerah timur Surabaya, yang kebanyakan mengemis, menjual koran dan menjadi pengamen.Namun, saat itu, ia hanya terpikir untuk segera menyelesaikan skripsinya. Sambil mengerjakan skripsi, ia pun aktif ikut berbagai Lomba Karya Tulis Indonesia (LKTI). Setelah skripsinya usai dan sering memenangkan lomba, Yuliati pun bingung memanfaatkan uang hasil lomba itu. Lantas, ia memutuskan untuk kembali mengumpulkan anak-anak jalanan yang dulu sempat menjadi objek penelitiannya. "Saya sudah telanjur cinta dengan mereka," kenangnya.Yuliati pun berniat memberdayakan anak-anak yang berjumlah sekitar 20 orang agar bisa mandiri secara ekonomi. Mereka yang usianya rata-rata 10 tahun hingga 12 tahun itu terdiri dari anak-anak putus sekolah atau yang memang tidak bersekolah sama sekali. Ia pun mendirikan komunitas Solidaritas Anak Jalanan Anti Kekerasan (SAJAK) sebagai wadah bagi anak jalanan agar bisa keluar dari kemiskinan lewat kemandirian ekonomi.Sebenarnya, Yuliati ingin langsung mendirikan LSM secara resmi. Mengingat zaman orde baru tidak mudah mendirikan organisasi masyarakat, ia memilih sebuah komunitas. Setelah situasi politik lebih mendukung, baru pada tahun 1999, ALIT berdiri. Latar belakang pendirian LSM tersebut, karena Yuliati yakin, untuk mengatasi masalah kemiskinan dan anak-anak terlantar harus ada perubahan sistem politik. "Dan itu harus diawali dengan kemandirian ekonomi," tegasnya. Ia pun mengajarkan life skill development. Intinya, anak-anak itu bisa merespon segala masalah dari luar dengan kemampuan sendiri.Untuk mendukung segala kebutuhan operasional ALIT yang baru berdiri, Yuliati menggunakan penghasilannya sebagai konsultan anak dan Hak Asasi Manusia (HAM). Saat ini, ia memperoleh dana US$ 150 per hari untuk klien nasional dan US$ 250 per hari untuk klien luar negeri.Yuliati lebih fokus pada pelatihan pembuatan kerajinan tangan seperti bingkai foto dari kulit telur, pernak-pernik batik serta furnitur bambu. Saat dipasarkan pertama kali, Yuliati baru menawarkan sebatas teman dan dosen di kampusnya lantaran belum punya nama. Ia juga menggunakan hasil karya anak-anak ini untuk suvenir pernikahannya sendiri. "Dari sinilah, penjualan terus meningkat," ujarnya. Kemampuan Yuliati dalam memasarkan produk-produk tidak terlepas dari kebiasaannya yang sejak kecil sudah biasa berdagang. Saat itu, Yuliati belajar mencari uang saku tambahan sendiri karena tidak berani meminta ke orang tuanya. Terlebih, orangtuanya bukan tipe yang suka memanjakan anak-anaknya. Ia berjualan tas kresek di pasar atau jual kembang api setiap menjelang Ramadhan.Setelah berjalan sekian lama, usaha anak-anak ini terus berkembang. Saat ini, produk-produk ALIT sudah sampai ke luar negeri, mulai dari Jepang hingga Belanda. Hal ini tidak terlepas dari relasi luas yang dimiliki oleh Yuliati. Maklum, ia juga menjadi konsultan bagi LSM-LSM asing yang akan melakukan penelitian di Indonesia.Untuk melindungi anak-anak jalanan dari tekanan para orangtua yang sering menyuruh mereka mengemis, Yuliati membuat sebuah perjanjian dengan masing-masing orangtua. Intinya, penghasilan dari pembuatan kerajinan tangan yang mencapai Rp 500.000 per bulan akan dicabut kalau anak-anak tersebut kedapatan kembali mengemis. Yang menarik, ALIT juga mewadahi para orang tua anak jalanan tersebut. Mereka diperbantukan untuk ikut serta dalam bagian produksi. Saat ini, 20 anak jalanan angkatan ALIT pertama sudah menjadi pimpinan di bagian produksi dan toko yang ada di Upper Ground Royal Plaza, Surabaya. Sedangkan secara total, ALIT mengelola 60 anak jalanan dan 36 orang tua.Yuliati pun memiliki impian anak-anak binaannya terus bisa berkarya dan memperluas pangsa pasarnya. Alhasil, mereka bisa mandiri secara ekonomi. "Tujuannya, mereka tidak hanya jadi komoditas politik ketika menjelang pemilu," harapnya.Yuliati juga berharap memiliki sebuah toko besar yang menjual berbagai karya kerajinan dari material bambu. Hingga kini, ALIT sudah punya perkebunan bambu di daerah Mojokerto. Ia kembali bermimpi, empat tahun mendatang bisa memanen bambu dari kebun sendiri dan hasil panen itu bisa dipakai untuk material pengganti kayu.