Zainudin mengolah limbah jati menjadi barang bernilai ekonomis



Tak cuma batangnya, bonggol dan akar kayu jati bisa diolah menjadi furnitur. Bentuknya yang unik dengan banyak lengkungan di sekitar bonggol menjadikan furnitur dari limbah kayu jati ini disukai pasar luar negeri. Achmad Zainudin menembus pasar Eropa, Taiwan, China dan Jepang dengan omzet hingga Rp 59 juta.Sebagai tanaman daerah tropis, pohon jati banyak tumbuh di hutan-hutan yang ada di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Memiliki batang pohon yang kuat, kayu dari pohon jati sering dimanfaatkan untuk kerangka rumah dan bangunan serta perabot rumah tangga seperti lemari, meja, kursi.Tak cuma batang yang bisa digunakan untuk furnitur, bonggol dan akar kayu jati pun punya banyak kegunaannya. Bonggol dan akar yang dulunya dianggap limbah bisa diolah menjadi furnitur seperti meja dan kursi.Achmad Zainudin, pria berusia 35 tahun asal Jepara Jawa Tengah, adalah salah seorang perajin yang memanfaatkan limbah sebagai bahan baku.Menggeluti bisnis ini sejak tahun 2000, Zainudin, begitu ia biasa dipanggil, awalnya hanya mengerjakan furnitur indoor seperti meja, kursi dan lemari. Lesunya pasar membuatnya berkreasi dengan memanfaatkan bonggol dan akar pohon jati sebagai bahan utama pembuatan furnitur.Baru di tahun 2006, Zainudin fokus untuk mengerjakan furnitur dari bonggol dan akar dari pohon jati. Pelatihan yang kerap ia dapatkan dari pemerintah setempat membuatnya ahli membikin furnitur berbahan limbah itu. Ia juga menjadi tahu kalau pasar furnitur berbahan bonggol dan akar cukup menjanjikan. Gencarnya kampanye cinta lingkungan dengan memanfaatkan barang limbah juga menguatkan keinginan Zainudin mengolah bonggol dan akar pohon jati. "Asalkan punya kreativitas, mengolah limbah bisa menghasilkan barang yang memiliki nilai ekonomis tinggi," ujarnya. Berbeda dari kayu jati yang memiliki risiko kegagalan saat dibikin menjadi mebel, pembuatan furnitur dari bonggol relatif tak berisiko. "Cacat pada bonggol malah menjadi keunikan dan punya nilai jual yang tinggi," ujarnya. Alhasil, pembuatannya juga relatif lebih mudah. Saat ini, banyak perajin dari Jepara yang beralih memanfaatkan bahan bonggol dan akar kayu jati sebagai bahan furnitur. Zainudin termasuk golongan pertama mempopulerkan furnitur berbahan limbah itu.Zainudin memilih mencari sendiri bahan baku furniturnya. Ia membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk mendapatkannya. Kebanyakan ia mendapatkannya di daerah Cepu, Bojonegoro dan Purwodadi. "Hanya 10% sampai 20% saja dari Jepara," ujar Zaenudin yang biasanya belanja bahan baku minimal satu truk itu. Biasanya, Zainudin mendapatkan bonggol dan akar itu dalam dua bentuk, yakni yang sudah berbentuk meja namun masih dalam keadaan kasar. Ada juga yang masih berupa bongkahan bonggol yang besar. Harganya mulai dari Rp 300.000 sampai Rp 700.000, tergantung besar kecilnya bonggol ayu jati tersebut. Keunikan dari furnitur bonggol pohon jati terletak pada lengkungan-lengkungan tidak beraturan di sekeliling bonggol. Padahal, sejatinya bonggol dengan lengkungan-lengkungan itu adalah pohon jati yang cacat karena adanya benalu yang menempel pada bonggol. "Benalu ini pula yang membuat tekstur bonggol menjadi tak menentu," ujarnya. Lantaran alami, tak ada satu pun produk dari bonggol atau pun akar yang sama bentuknya. Dibantu sekitar 25 karyawan, dalam satu minggu Zainudin bisa menghasilkan sepuluh meja. Pangsa pasar yang menyukai produk dari bonggol kayu jati ini di dominasi oleh pasar luar negeri, seperti Eropa, Taiwan, Cina dan Jepang. "Sebanyak 75%, produk kami untuk tujuan ekspor," ujar Zaenudin yang mengekpsor produknya empat bulan sekali. Dengan harga meja berukuran 100 cm X 90 cm dan tinggi 45-50 cm sebesar Rp 3 juta dan ukuran 1,5 m X 100 cm dengan tinggi 45 cm sebesar Rp 6 juta, saban bulan Zainudin bisa meraup omzet sekitar Rp 10 juta sampai Rp 59 juta, tergantung dari banyak sedikitnya order yang masuk.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi