G20 Segera Mengimplementasi Program Pertukaran Informasi Pajak Secara Otomatis


Jakarta, 19 Maret 2017 – Baden-Baden sebuah kota kecil yang indah di Negara bagian BadenWürttemberg di barat daya Jerman yang hanya berjarak 40 km dari Strasbourg Perancis, menjadi tempat bertemunya para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 tanggal 17-18 Maret 2017. Pertemuan juga dihadiri oleh institusi internasional antara lain FSB, FATF, UN, ECB, IMF, World Bank, European Commission, African Development Bank, APEC, BIS, OECD, NEPAD.

Pertemuan G20 saat ini memiliki suasana agak berbeda karena merupakan pertemuan pertama kali setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, dan dimulainya proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Pertemuan ini juga terjadi di tengah tahun pemilihan umum di negara Perancis, Jerman, dan Belanda - dimana sentimen anti imigrasi, pengungsi dan politik populisme meningkat di negara-negara Eropa.

Pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tersebut didahului dengan “High Level Symposium on Global Economic Governance in a Multipolar World” pada tanggal 17 Maret 2017, dihadiri oleh para Menteri dan tokoh ekonomi terkemuka dunia. Pada simposium tersebut, diskusi yang berlangsung serius kemudian berubah menjadi lebih terbuka, ketika Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati melontarkan pandangannya, mempertanyakan komitmen G20 dalam memelihara kerja sama global untuk menciptakan kestabilan keuangan global yang berlandaskan pada azas keadilan dan peraturan yang disepakati bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama yang adil. Hubungan perdagangan dan investasi antar negara merupakan instrumen yang telah terbukti mampu memerangi kemiskinan dalam empat dekade terakhir. Asia merupakan kawasan yang mendapat manfaat dari hubungan perdagangan dunia yang telah memacu bangkitnya ekonomi dan pengurangan kemiskinan dari Jepang, Korea Selatan, RRT, ASEAN dan India serta negara-negara di kawasan Asia Selatan.

Pertemuan G20 di Baden-Baden menjadi pertemuan yang tidak biasa, karena Amerika Serikat dalam komunikasi kebijakan globalnya menunjukkan perubahan sangat mendasar dengan pandangan -pandangan bahwa hubungan perdagangan dan investasi serta kerja sama multilateral adalah merugikan mereka. Pandangan tersebut sangat berbeda dengan semangat kerjasama G20 yang dilahirkan pada saat dunia mengalami krisis keuangan global yang mengancam seluruh dunia, yang berhasil mengembalikan kestabilan dan makin memperkuat koordinasi kebijakan ekonomi global dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Indonesia mengingatkan bahwa G20 harus mampu menjaga komitmen kerjasama tersebut untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan satu negara dan berakibat buruk bagi negara lain. Tatanan dunia yang adil dan saling membantu untuk mencapai kesejahteraan bersama merupakan nilai dasar yang ditanamkan oleh pendiri Bangsa Indonesia yang harus kita perjuangkan dalam pertemuan dan pergaulan internasional. Pandangan ini disambut positif oleh KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SEKRETARIAT JENDERAL BIRO KOMUNIKASI DAN LAYANAN INFORMASI Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta 10710 Telepon (021) 3449230 ext. 6347/48; Fax: (021) 3500847 Email: mediacenter@kemenkeu.go.id Nomor : 15 /KLI/2017 Tanggal : 19 Maret 2017 2/4 para Menteri Keuangan negara-negara G20 yang memberikan sokongannya mengenai perlunya penegasan komitmen kerjasama tersebut. Para Menteri Keuangan sepakat untuk memasukkan pernyataan mengenai perdagangan dunia.

Isu perdagangan internasional tersebut dibahas dalam diskusi mengenai perkembangan perekonomian global termasuk perekonomian Amerika Serikat. Para Menteri menyerukan agar kesepakatan sistim perdagangan internasional dapat terus didukung. Salah satu bahasan yang terkait isu ini adalah komitmen untuk menghindari devaluasi nilai tukar untuk semata-mata bertujuan kompetisi perdagangan masing-masing negara. Meskipun demikian kesepakatan mengenai pentingnya terus menjaga perdagangan dunia yang berdasarkan aturan global tidak dapat disepakati. Hasil tersebut sangat mengecewakan karena memberikan tanda bahwa aturan yang mengikat secara global tidak lagi menjadi dasar hubungan ekonomi dan perdagangan dunia, artinya negara kuat akan mendikte dan mendominasi hubungan menurut kepentingan mereka sendiri- bukan atas kepentingan bersama. Hal ini harus diantisipasi oleh Indonesia dalam merumuskan kebijakan ekonomi ke depan.

Meskipun di komunike bidang perdagangan tidak tercapai kesepakatan, para Menteri mendorong negara anggota G20 untuk mempertegas komitmen mendukung strategi pertumbuhan yang lebih kuat, berkesinambungan, berimbang dan inklusif untuk menjaga momentum pertumbuhan global dalam jangka panjang. Oleh karenanya, semua pilihan kebijakan termasuk moneter, fiskal dan reformasi struktural, harus digunakan secara bersama-sama dan saling mendukung untuk memaksimalkan usaha mendorong pertumbuhan global tersebut.

Dalam pertemuan ini topik yang sangat penting bagi Indonesia adalah mengenai kerjasama perpajakan internasional. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan posisi Indonesia perlunya kerja sama perpajakan internasional untuk mengatasi penghindaran pajak. Dengan dilakukannya Tax Amnesty dapat ditunjukkan bahwa banyak wajib pajak Indonesia yang selama ini tidak mendeklarasikan aset dan pendapatan yang disimpan di luar negeri. Kerjasama pertukaran informasi penting bagi tercapainya aturan dan implementasi perpajakan yang adil antar negara. Tidak ada lagi tempat aman untuk para penghindar pajak di dunia. Menteri Keuangan juga mengingatkan kewajiban pajak atas perusahaan-perusahaan ekonomi digital. Kewajiban pajak “digital economy” harus adil dan bagian terbesarnya harus dinikmati oleh negara yang menjadi lokasi kegiatan transaksinya, bukan dimana perusahaan tersebut terdaftar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara anggota G20 siap berpartisipasi dalam implementasi kerjasama pertukaran informasi perpajakan otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEOI) dan pelaksanaan prinsip penghindaran Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) secara menyeluruh dan efektif. Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 secara bulat menyepakati agar program AEOI dan BEPS sepenuhnya diimplementasi mulai bulan September 2017 dan selambat-lambatnya pada bulan September 2018.

Lebih jauh, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pengalaman Indonesia dalam melaksanakan program amnesti pajak (tax amnesty), dimana hasilnya menunjukkan asset yang dideklarasikan sangat besar, sementara asset yang direpatriasi masih relatif kecil. Indonesia memandang negara-negara anggota G20 harus bekerja bersama-sama untuk mewujudkan program kerja sama perpajakan internasional yang kuat dan transparan, namun tetap memperhatikan keadilan dan kesiapan seluruh negara yang ingin ikut berpartisipasi di dalamnya. Dalam hal ini, jangan sampai terjadi negara yang ingin bergabung dalam program AEOI dan BEPS ini kemudian menjadi korban dari program itu sendiri akibat ketidakmampuan negara tersebut menyiapkan diri.

Indonesia berharap dengan implementasi program kerjasama tersebut, maka tidak ada lagi ‘loophole’ bagi praktek-praktek penghindaran pajak internasional serta tidak ada lagi negara yang menggunakan perbedaan sistim pajak untuk melakukan inovasi instrumen keuangan yang bertolak belakang dengan semangat BEPS dan AEOI. Selain itu, Indonesia juga menyatakan perlunya kerja sama perpajakan yang lebih erat antar negara mitra dagang demi mencegah kebocoran perpajakan yang timbul akibat aliran uang melalui perdagangan internasional.

Menteri Keuangan juga menyampaikan keinginan Indonesia menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF) dan meminta sokongan penuh dari negara-negara anggota G20. Keberadaan Indonesia sebagai anggota FATF akan memberikan kontribusi besar kepada dunia dalam pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme (AML/CFT), mengingat posisi Indonesia yang termasuk dalam negara yang strategis di dunia dan mempunyai sistem keuangan yang terbuka. Manfaat terhadap domestik juga sangat besar di mana Indonesia dapat mempersiapkan regulasi terkait AML/CFT sejalan dengan standar internasional, dan juga dapat secara aktif berperan dalam membangun standar global terkait AML/CFT.

G20 di bawah Presidensi Jerman juga mendorong penguatan kerja sama dengan negaranegara di Afrika melalui program “Compact with Africa”. Agenda tersebut bertujuan untuk meningkatkan investasi dari swasta, terutama pada sektor infrastruktur, melalui perbaikan kerangka kerja. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan dukungan Indonesia untuk terlaksananya program Compact with Africa tersebut, dan siap mendorong keterlibatan lebih besar sektor swasta dan BUMN Indonesia untuk memanfaatkan program ini sebagai kesempatan memperluas investasi dan usaha ke benua Afrika. Sementara itu, keterlibatan Pemerintah Indonesia selama ini telah dilakukan melalui program kerja sama selatan-selatan dan triangular serta melalui lembaga keuangan internasional, termasuk peningkatan komitmen Indonesia di International Development Association (IDA)-Bank Dunia. Untuk memperkuat agenda tersebut, Indonesia meminta agar G20 dapat menugaskan Global Infrastructure Hub (GIH) dan Global Infrastructure Connectivity Alliance (GICA) yang digagas oleh Indonesia dan sejumlah negara G20 untuk secara optimal berkontribusi dalam membantu mekanisme dan kesiapan pembiayaan infrastruktur di negara-negera benua Afrika.

Selanjutnya, dibahas juga aliran modal lintas negara yang dianggap dapat menciptakan peluang untuk melakukan diversifikasi investasi dan menunjang pertumbuhan untuk memajukan ekonomi global. Namun, risiko volatilitas aliran modal dapat mengancam stabilitas pasar keuangan yang berujung pada ketidakpastian pertumbuhan ekonomi. G20 pada tahun ini melakukan analisa aliran modal dan mitigasi risiko volatilitas untuk meningkatkan ketahanan perekonomian, khususnya pada sistem keuangan global.

Multilateral Development Banks (MDBs) memiliki peran penting dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan ketahanan ekonomi. Oleh karena peran tersebut, koordinasi diantara MDBs menjadi salah satu fokus agenda pada G20 tahun ini. Presidensi Jerman mengusulkan adanya prinsip untuk koordinasi efektif antara IMF dan MDBs. Prinsip tersebut didasarkan pada pentingnya MDBs untuk memperhatikan rekomendasi analisa makroekonomi dari IMF dalam memberikan pembiayaan kepada suatu negara, terutama dalam masa kondisi makro ekonomi yang tidak stabil. Melalui koordinasi tersebut diharapkan bantuan pembiayaan dari MDBs dapat mendukung perbaikan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Indonesia, secara khusus, meminta kepastian agar proses koordinasi tersebut tidak dibebankan dalam perhitungan pembiayaan kepada negara miskin dan berkembang.

G20 tetap melanjutkan agenda reformasi regulasi sektor keuangan yang merupakan komitmen G20 tahun-tahun sebelumnya. Isu mengenai keuangan digital juga menjadi pembahasan baru oleh G20 mengingat perkembangan teknologi keuangan yang mendorong 4/4 inovasi keuangan yang bermanfaat positif bagi konsumen. Perkembangan teknologi keuangan juga memerlukan pengawasan secara tepat untuk mencegah ketidakstabilan aliran modal, kejahatan cyber, dan risiko-risiko lainnya.

Penekanan diskusi mengenai agenda green finance diarahkan pada dua isu yaitu tentang Perbaikan dan penyediaan Publicly Available Environmental Data (PAED) dan Enhancing Environmental Analysis (ERA) untuk membantu pembuatan keputusan di sektor keuangan. G20 mendorong proses diskusi tersebut dan usaha untuk mengidentifikasi bentuk dukungan dalam integrasi isu keuangan ke dalam pembuatan keputusan oleh institusi keuangan.

Indonesia bersama Brazil dalam kesempatan kali ini diminta oleh Presidensi Jerman untuk menyampaikan pengalaman atau ‘share experience’ dalam melaksanakan reformasi subsidi BBM. Usaha Indonesia untuk mengurangi subsidi BBM yang tidak efisien dan tidak tepat sasaran menjadi bantuan langsung kepada kelompok miskin dinilai sebagai usaha positif oleh komunitas global. Menteri Keuangan Saudi Arabia menyampaikan keinginannya untuk mempelajari pengalaman Indonesia tersebut, sehubungan dengan masalah yang sama yang dihadapi oleh negaranya. Pada tahun ini, Indonesia mencoba untuk melangkah lebih jauh melalui keinginan untuk melakukan peer review kebijakan reformasi Subsidi BBM. Peer review ini merupakan salah satu sarana antar negara untuk dapat saling bertukar pengalaman dan pengetahuan dalam memperbaiki tata cara reformasi subsidi BBM saat ini.

Dalam pertemuan tersebut, Menteri Keuangan juga melakukan pertemuan bilateral negara anggota G20 lainnya, seperti Perancis, Australia, China, dan Kanada, serta organisasi internasional (OI), seperti OECD. Agenda utama yang dibahas adalah Indonesia meminta dukungan negara negara dan OI tersebut untuk implementasi AEOI dan keanggotaan Indonesia di FATF. Hasil dari negosiasi bilateral tersebut menunjukkan hasil yang positif di mana negara negara dan OI yang ditemui mendukung sepenuhnya keinginan Indonesia tersebut.

Editor: Administrator 3
Publisher