Jakarta, 13 Januari 2022 - Danau Maninjau merupakan danau tektovulkanik yang terletak pada ketinggian 462,8 meter di atas permukaan laut (MDPL), dengan luas 9.737,5 hektare, dan waktu tinggal air 25 tahun. Dalam pemanfaatannya, danau ini berfungsi sebagai pembangkit lisrik (205 GWh/tahun), sumber air minum, irigasi, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya dan pariwisata. Secara ekologi, danau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat ini berfungsi sebagai habitat bagi organisme, mengontrol kesetimbangan air tanah dan iklim mikro.
Berdasarkan hasil penelitian Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) pada Pusat Riset Perikanan (Pusriskan), sebanyak 14 jenis ikan ditemukan di Danau Maninjau dengan jenis ikan yang menjadi target tangkapan nelayan, antara lain ikan bada atau ikan seluang (Rasbora argyrotaenia), ikan baung (Mystus spp.), gariang (Tor soro), asang (Osteochilus haselti), barau (Hampala macrolepidota), dan nila (Oreochromis niloticus). "Ikan Seluang di Danau Maninjau merupakan komoditas penting sebagai sumber protein untuk masyarakat sekitar dan berpotensi sebagai ikan hias. Nilai ekonomi yang diperoleh dari kegiatan perikanan baik tangkap maupun budidaya masing-masing adalah Rp1,12 miliar/tahun dan Rp43,3 miliar/tahun sedangkan dari kegiatan pariwisata sebesar Rp2,15 miliar/tahun," jelas Kepala BRPSDI, Iswari Ratna Astuti. Berdasarkan kandungan unsur haranya, Danau Maninjau merupakan badan air yang sangat subur. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis situasi, terdapat berbagai tantangan dalam menjaga kelestarian Danau Maninjau. Ratna menerangkan bahwa degradasi lingkungan dan sumber daya ikan telah terjadi di Danau Maninjau. Hal ini disebabkan oleh pencemaran yang berasal dari kegiatan budidaya keramba jaring apung (KJA), rumah tangga, dan pertanian. "Masyarakat mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kegiatan budidaya KJA sebagai mata pencaharian. Beban cemar bahan organik yang berasal dari kegiatan perikanan budidaya sebesar 24.750 ton/tahun atau setara dengan 1.079 ton/tahun nitrogen dan 123,8 ton/tahun fosfor yang berdampak pada peningkatan kesuburan perairan, karena masuknya nutrien yang berlebih menyebabkan degradasi habitat," paparnya. Lebih lanjut disampaikan, degradasi habitat berdampak pada penurunan produktivitas produksi KJA dan mengakibatkan seringnya terjadi kematian massal ikan budidaya selain disebabkan oleh fenomena alam yaitu tubo belerang. Kematian massal ikan yang terjadi pada tahun 2014 mencapai 1.000 ton dengan nilai Rp 20 miliar. Di tahun 2021, pada rentan waktu Januari hingga Desember, tercatat kerugian sekitar Rp35,28 miliar akibat kematian 1.764 ton ikan secara massal. Melalui serangkaian riset, dihasilkan beberapa opsi rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan Danau Maninjau, yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas air dan konservasi sumber daya ikan serta peningkatan produksi perikanan tangkap. Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan dalam pengelolaan Danau Maninjau antara lain, perbaikan kualitas air; konservasi dan pemanfatan berkelanjutan sumber daya ikan; dan peningkatan produksi ikan tangkapan yang menerapkan Model Culture Based Fisheries (CBF). Peneliti BRPSDI Profesor Krismono menuturkan, dalam memperbaiki kualitas air, dapat dilakukan dengan mengurangi beban cemar yang masuk ke perairan serta pemanfaatan teknologi fitoremediasi, melalui beberapa cara. Pertama, pengurangan produksi dan jumlah KJA. Sebagaimana diketahui produksi ikan budidaya di Danau Maninjau mencapai 50.091 ton/tahun dengan jumlah KJA sebanyak 16.497 petak sedangkan daya dukung hanya 15.430 ton/tahun dengan jumlah KJA sebanyak 8.230 petak. Agar kegiatan budidaya dapat berkelanjutan maka perlu adanya pengurangan produksi dan jumlah KJA masing-masing sebesar 34.661 ton/tahun (70 persen) dan 8.267 petak (50,1 persen). Kedua, penggunaan KJA ramah lingkungan (KJA SMART). Penggunaan KJA SMART menggunakan jaring ganda diharapkan dapat mengurangi pakan terbuang. Ketiga, pembuatan kalender budidaya sebagai antisipasi kematian massal ikan sebagai akibat dari umbalan dan tubo belerang. Pada bulan Januari- Maret proses umbalan terjadi sebagai akibat hembusan angin dari arah timur, sedangkan pada bulan April- Mei sebagai akibat hujan dan angin, sedangkan pada bulan Oktober-Desember sebagai akibat intensitas hujan yang tinggi. Sehingga waktu yang memungkinkan untuk kegiatan budidaya adalah Juni-September setiap tahunnya. Keempat, fitoremediasi dengan pembuatan lahan basah di tepian danau. Dalam melaksanakan konservasi dan pemanfatan berkelanjutan sumber daya ikan, dapat dilakukan dengan penetapan kawasan suaka yang dilengkapi dengan habitat pemijahan buatan dengan rumpon terapung, pembentukan habitat pemijahan semi eksitu pada sungai inlet Danau Maninjau, serta penetapan ukuran mata jaring alat tangkap gillnet yang digunakan yaitu ≥ 3,0 inci. Dalam peningkatan produksi ikan tangkapan yang menerapkan Model Culture Based Fisheries (CBF), dapat dimulai dengan penataan KJA secara bertahap hingga mencapai daya dukung yang diperbolehkan. Jenis ikan yang ditebar berupa ikan asli Danau Maninjau maupun ikan pemakan plankton yaitu ikan tawes, paweh, dan nilem. Tujuan penebaran adalah untuk pemulihan sumber daya ikan danau serta pemulihan kualitas air dengan mengurangi kesuburan plankton menggunakan ikan pemakan plankton sekaligus menjaga kestabilan produksi perikanan tangkap. Kegiatan penebaran ini harus disertai dengan dengan bimbingan dan pengawasan dari beberapa pihak terkait. Sebelumnya, pada Juni 2021, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, saat berkunjung ke Danau Maninjau, menegaskan kepada Pemerintah Daerah bahwa penataan KJA yang selama ini beroperasi di Danau Maninjau, harus dikerjakan secara matang. Perlu adanya pembenahan KJA dengan baik serta selaras dengan kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi petani KJA atau keramba.
Editor: Marketing Exabytes