Banjir Semarang Rugikan Rp 1,5 Triliun, Milyaran Rupiah Pun Terkuras Agar Selamat



Liputan dampak iklim ke industri dan buruh ini mendapatkan dukungan dari Pulitzer Center

KONTAN.CO.ID -  Suara deru alat berat dan lalu lalang truk pembawa batu membelah jalan kecil ukuran 5 meter di kampung nelayan Tambak Lorok, Semarang, Jawa Tengah pada akhir Agustus 2024. Suara bising pun selalu terdengar dari pagi hari hingga sore hari.

Debu-debu yang berterbangan di tengah perkampungan pun menjadi pemandangan rutin warga Semarang bagian utara itu setidaknya dalam dua tahun terakhir. Namun, tak ada warga yang keberatan.


Bahkan, warga malah senang. Aktivitas itu telah menghilangkan salah satu masalah utama yang telah terjadi sejak bertahun-tahun lalu, yakni banjir.

Berada di bibir Pantai Utara Jawa, Tambak Lorok adalah daerah langganan banjir rob maupun banjir kiriman. Banjir rob terjadi sebulan sekali setiap air laut pasang. Sedangkan banjir kiriman terjadi saat musim penghujan, ketika Kota Semarang dan sekitarnya dilanda hujan deras berjam-jam.

Paling tidak, air banjir menggenangi jalanan sedalam 0,5 meter - 1 meter. Tak jarang, air banjir masuk ke rumah warga.

Tak heran, sekitar 900-an keluarga di wilayah itu harus selalu menyediakan dana puluhan juta untuk renovasi rumah tiap lima tahun guna memperbaiki dinding yang rapuh akibat terendam air banjir. Warga juga harus membeli tanah dan puing untuk meninggikan lantai rumah agar rumah tidak tenggelam oleh banjir. Untuk meninggikan lantai, setiap rumah tangga harus menyediakan dana minimal Rp 10 jutaan.

Oleh karena itu, ada juga bekas rumah tinggal yang rusak parak dan tersisa dinding saja akibat pemilik tak bisa memperbaiki. “Warga yang mapan, sudah punya pekerjaan lain selain nelayan, biasanya meninggalkan rumahnya di Tambak Lorok,” ujar Jajuri, salah satu warga Tambak Lorok.

Kini, warga Tambak Lorok sudah mulai sedikit bernafas lega. Setidaknya dalam setahun terakhir, Tambak Lorok sudah tak lagi kebanjiran hingga merendam rumah. Hanya banjir kecil yang menggenangi jalan dengan ketinggian air sekitar 15-20 cm. Hal ini setelah pembangunan tanggul laut di wilayah tersebut yang dimulai sejak tahun 2019.

Tanggul laut dibangun menggunakan Sheet Pile sepanjang 3,6 kilometer. Ketinggian tanggul sekitar 2 meter dan lebar sekira 80 cm. Diperkirakan, tanggul laut yang dibangun dengan dana sekitar Rp 386 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut bisa menahan banjir rob sekitar 30 tahun.

Selain tanggul laut, pemerintah juga berencana melakukan penataan kawasan kampung nelayan tersebut. Kemudian, pemerintah akan membangun dua kolam penampungan atau polder untuk pengendalian banjir seluas 8 hektare dan 12 hektare disertai rumah pompa berkapasitas 3x500 liter per detik.

Hanya saja, dibalik proyek itu ada keresahan di ratusan nelayan dan petambak yang tinggal di Tambak Lorok. Pasalnya, pembangunan tanggul laut menggunakan lahan di Kali Banger yang berada di sebelah barat kampung Tambak Lorok.

Kali Banger yang dulunya memiliki lebar sekitar 20 cm, kini hanya tersisa 3 meter setelah pembangunan tanggul. Padahal, kali ini adalah akses keluar masuk ratusan kapal nelayan yang umumnya berukuran di bawah 5 GT.

Penyempitan tersebut menyebabkan kapal nelayan melintasi tambak di sebelah Kali Banger untuk keluar masuk. "Kapal-kapal pun harus antre untuk keluar masuk, karena panjang kapl 10 meter, lebar 4-5 meter, kata Suhartono, salah satu Ketua Kelompok Nelayan di Tambak Lorok.

Tak hanya susah keluar masuk, nelayan juga kesulitan parkir kapal pasca pembangunan tanggul. Di Tambak Lorok ada 937 nelayan dengan jumlah kapal sebanyak 756 unit. "Kami minta lebar Kali Banger dikembalikan, dengan cara pembebasan lahan tambak," kata Suhartono yang pernah menghabiskan puluhan juta rupiah untuk membeli tanah sebanyak 31 truk untuk meninggikan lahan rumahnya.

Suhartono mengaku telah mengajukan permintaan itu pemerintah kota, DPRD, Dinas Pekerjaan Umum hingga ke BBWS yang mengelola Kali Bangger. Namun sejauh ini tidak ada jawaban.

Tanpa pembebasan, warga khawatir akan terjadi konflik antara nelayan dengan petambak. Karena bagaimanapun, petambak juga dirugikan jika lahannya digunakan secara terus-menerus untuk akses keluar masuk kapal.

Padahal, petambak sudah mengizinkan untuk pembebasan lahan. "Kami tidak meminta ganti rugi yang besar hingga jutaan rupiah. Yang penting pemerintah memberikan kompensasi secara jelas," ungkap Jajuri salah satu pemilik tambak.

Editor: Adi Wikanto