Beban utang pemerintah membengkak di tengah merosotnya penerimaan pajak



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi pembiayaan utang hingga periode Oktober 2020 mencapai Rp 958,6 triliun. Kondisi ini mengkhawatirkan karena terjadi ketidakcocokan antara beban utang yang membengkak dengan penerimaan negara yang turun.

Terkait utang ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, jumlah ini setara dengan 78,5% dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam Perpres 72/2020 sebesar Rp 1.220,5 triliun.

“Realisasi ini mengalami peningkatan tajam hingga 143,8% apabila dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 393,2 triliun,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Senin (23/11).


Dalam membiayai defisit APBN 2020 yang ditargetkan pemerintah sekitar yakni 6,34% atau Rp 1.039,2 triliun terhadap PDB, pembiayaan utang ini mayoritas disokong oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto dan pinjaman neto. 

Baca Juga: Investor khawatir bakal terjadi default di empat perusahaan BUMN China

Untuk penerbitan SBN neto sampai dengan 31 Oktober, realisasinya sebesar Rp 943,5 triliun dan realisasi pinjaman (neto) sebesar Rp 15,2 triliun.

“Realisasi pinjaman mengalami pertumbuhan negatif hingga 190,1% yoy jika dibandingkan tahun lalu. Sementara itu realisasi SBN neto kita tercatat tumbuh 130,1% yoy jika dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp 410 triliun,” tambah Sri Mulyani.

Menurut Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira memperkirakan realisasi pembiayaan utang akan mencapai 100% hingga akhir tahun 2020. “Bukan saja untuk menutup pembiayaan defisit 2020 tapi juga untuk frontloading kebutuhan belanja awal tahun 2021,” jelas Bhima kepada KONTAN, Selasa (24/11). 

Sehingga, Bhima juga memperkirakan bahwa pemerintah akan memanfaatkan besarnya dana asing yang masuk ke pasar negara berkembang pasca terpilihnya Joe Biden, Presiden Amerika Serikat (AS) untuk menerbitkan surat utang lebih banyak.

Hanya saja, yang masih menjadi perhatian khusus adalah situasi utang saat ini memiliki risiko “mismatch” antara kemampuan bayar dan jumlah beban utang. 

Baca Juga: Kontrak baru Waskita Karya (WSKT) baru capai Rp 15 triliun hingga Oktober 2020

Editor: Noverius Laoli