Bos Adaro berharap royalti bagi IUPK tak naik tinggi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Direktur dan Chief Executive  Adaro Energy, Garibaldi ‘Boy’ Thohir berharap penetapan tarif royalti batubara bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tak naik tinggi.

Boy mengungkapkan jika pemerintah menetapkan royalti yang tinggi maka industri batubara tanah air tak akan kompetitif dan kehilangan kesempatan untuk memaksimalkan potensi yang ada.

Boy menjelaskan dengan kondisi perselisihan Cina dan Australia, maka ada keuntungan bagi Indonesia untuk memperoleh devisa yang lebih besar. "Kalau royalti naik tinggi gak kompetitif, nanti jika Cina buka lagi hubungan dagangnya dengan Australia nanti kita yang rugi," kata Boy dalam Konferensi Pers Virtual, Senin (19/4).


Boy pun mengharapkan pemerintah mengkaji agar penetapan tarif royalti tidak memberatkan pelaku usaha. "Pemerintah pasti mengkaji, gak ada orang tua yang jahat sama anaknya," tukas Boy.

Baca Juga: Harga batubara masih membara, simak rekomendasi saham Adaro Energy (ADRO)

Sebelumnya, Pelaku usaha pun telah mengajukan usulan tarif royalti bagi para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) ketika nanti mendapatkan perpanjangan operasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyampaikan bahwa usulan pelaku usaha sudah disampaikan kepada pemerintah pada November 2020 lalu. 

Dia mengklaim, usulan tarif royalti yang diajukan telah mempertimbangkan kewajiban penerimaan negara yang lebih tinggi saat PKP2B diperpanjang menjadi IUPK. Hal itu sesuai amanah dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Mineral dan Batubara (UU Minerba). 

"Prinsipnya harus ada kenaikan penerimaan negara sesuai mandat undang-undang, semua kita sudah setuju, itu bukan isu lagi. Cuman formulasi bagaimana, kita usulkan itu," kata dia kepada Kontan.co.id.

Pelaku usaha mengusulkan tarif royalti progresif dengan mengacu pada index Harga Batubara Acuan (HBA). Ada empat rentang yang diusulkan. Pertama, jika harga di bawah US$ 70 per ton maka tarif royalti yang dikenakan untuk domestik sebesar 14%, begitu juga untuk ekspor.

Baca Juga: PLTU Batang Adaro Energy (ADRO) akan beroperasi awal 2022

Editor: Noverius Laoli