Brasil jadi negara kedua dengan angka kematian Covid-19 melampaui 400.000 jiwa



KONTAN.CO.ID - BRASILIA. Pada Kamis (29/4/2021), Brasil ditetapkan menjadi negara kedua yang melampaui angka 400.000 kematian akibat Covid-19 setelah Amerika Serikat. Para ahli memperingatkan bahwa jumlah korban harian dapat tetap tinggi selama beberapa bulan karena vaksinasi yang lambat dan adanya pelonggaran pembatasan sosial.

Melansir Reuters, lonjakan infeksi virus corona yang brutal tahun ini telah mendorong rumah sakit di seluruh negeri ke ambang kapasitas mereka dan menyebabkan 100.000 kematian hanya dalam waktu sebulan.

Meski demikian, angka kematian Covid-19 Brasil mengalami sedikit penurunan dari level puncak yang mencapai lebih dari 4.000 orang dalam satu hari di awal April. Kondisi tersebut mendorong pemerintah di sejumah daerah untuk melonggarkan penguncian.


Akan tetapi, para ahli penyakit menular memperingatkan bahwa pelonggaran ini akan membuat angka kematian meningkat selama berbulan-bulan karena vaksin saja tidak dapat diandalkan untuk menahan virus. Dua ahli mengatakan mereka memperkirakan kematian terus berlanjut hingga rata-rata di atas 2.000 per hari.

Baca Juga: Kasus Covid-19 India melampaui 18 juta, penggali kubur bekerja sepanjang waktu

"Brasil akan mengulangi kesalahan yang sama seperti tahun lalu," kata ahli epidemiologi Pedro Hallal, yang memimpin studi nasional tentang Covid-19 kepada Reuters.

"Apa yang akan dilakukan Brasil sekarang? Kembali ke pelonggaran pembatasan dan itu akan menstabilkan kita pada 2.000 kematian per hari, seolah 2.000 kematian akibat satu penyakit dalam satu hari adalah normal," katanya.

Mengutip Reuters, India baru-baru ini melampaui Brasil dalam rata-rata kematian harian. Meski demikian, Brasil tetap memiliki angka kumulatif yang lebih tinggi dengan angka populasi seperenam ukuran India.

Baca Juga: Tambah B.1.617 India, WHO tetapkan 10 varian virus corona berstatus VoC dan VoI

Lonjakan infeksi di negara ini didorong oleh varian virus corona P.1 yang ditemukan di Brasil yang diyakini 2,5 kali lebih menular dari versi aslinya.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie