Calon Presiden Prancis butuh aliansi di putaran II



PARIS. Pemilihan Presiden Prancis 2017 dianggap unik karena untuk pertama kali diikuti oleh empat calon presiden yang relatif sama kuat, tidak didominasi oleh dua capres seperti biasanya.

"Setelah putaran pertama biasanya sudah jelas hanya tinggal dua calon saja yang dominan sehingga mereka tidak harus mencari aliansi atau dukungan dari partai lain atau kubu yang dikalahkan," jelas Francois Raillon, peneliti senior di Pusat Penelitian Nasional Prancis, CNRS, kepada wartawan BBC, Liston Siregar.

"Jadi ini memang unik dalam sejarah pemiihan presiden Prancis sejak didirikannya Republik Kelima (Prancis) oleh Jenderal (Charles) de Gaulle pada tahun 1958."


Berdasarkan perkiraan sementara pemungutan suara putaran pertama, Minggu (23/04), selisih perolehan suara keempat calon dari lima calon yang ikut pemilihan memang tidak berbeda banyak.

Kementrian Dalam Negeri Prancis menyatakan dengan 20 juta suara yang sudah dihitung, Marine Le Pen mendapat 24,38%, disusul Emmanuel Macron dengan 22,19%, François Fillon meraih 19,63%, sedang Jean-Luc Mélenchon mendapat 18,09%.

Adapun calon kelima, Benoit Hamon, tertinggal jauh di belakang dengan perolehan suara sekitar 7%.

Jumlah itu sekitar setengah dari total suara yang masuk dengan partisipasi yang relatif tinggi, sekitar 80% atau sama dengan pada pemilihan terakhir 2012 lalu.

Dengan hasil sementara itu maka Le Pen dari Partai Barisan Nasional -yang beraliran politik ekstrem kanan- akan bersaing dengan Emmanuel Macron dari Partai En Marche! -dengan aliran politik kanan tengah- di putaran kedua.

Namun keduanya membutuhkan dukungan kubu Fillon dari Partai Republik -dengan aliran kanan tengah- dan Mélenchon yang merupakan calon Partai La France Insoumise yang beraliran kiri serta Hamon dari Partai Sosialis.

Editor: Rizki Caturini