KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bukan kali ini saja Indonesia terlibat pertikaian dengan China terkait Laut Natuna. Ada cerita panjang di balik pertikaian tersebut. Sejak 2016 hingga saat ini, persoalan ini seakan hilang-timbul. Sejumlah faktor melatarbelakangi konflik tersebut. Di antaranya, masuknya kapal China ke Laut Natuna tanpa izin maupun perubahan nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Berikut rinciannya:
1. Konflik RI-China di Natuna Tahun 2016 Pada Maret 2016, konflik antara pemerintah Indonesia dengan China terjadi lantaran ada kapal ikan ilegal asal China yang masuk ke Perairan Natuna. Pemerintah Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebut. Tetapi, proses penangkapan tidak berjalan mulus, lantaran ada campur tangan dari kapal Coast Guard China yang sengaja menabrak KM Kway Fey 10078. Hal itu diduga untuk mempersulit KP HIU 11 menangkap KM Kway Fey 10078.
Baca Juga: Ini alasan mengapa nelayan China percaya diri menangkap ikan di dekat Natuna Susi Pudjiastuti yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) meminta Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi untuk melayangkan nota protes kepada China. "Bu Retno (Menlu) yang akan mengajukan nota protes diplomatik ke mereka. Nota diplomatiknya karena melanggar masuk ke teritorial kita," ucap Susi di pemberitaan Kompas.com, 20 Maret 2016.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, dalam pertemuan dengan Sun Weide, Kuasa Usaha Sementara China di Indonesia, pihak Indonesia menyampaikan protes keras terhadap China atas dua hal. Pertama, terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal Coast Guard China terhadap kedaulatan dan yurisdiksi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen.
Baca Juga: Pakar hukum: Dunia internasional heran, kapal TNI bersiaga di perairan Natuna Kedua, pelanggaran oleh Coast Guard China dalam upaya penegakkan hukum oleh otoritas Indonesia di ZEE dan landas kontinen. Sebulan setelah konflik tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap persoalan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Coast Guard China di Perairan Natuna sudah selesai. "Hal itu sudah dianggap selesai dan dianggap kesalahpahaman," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung seperti diberitakan Kompas.com, 13 April 2016.
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie