DPR Sahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Jadi Undang-Undang, Ini Poin-Poinnya



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang pada sidang paripurna hari Selasa (12/4).

“Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?,” tanya Ketua DPR Puan Maharani dalam sidang paripurna, Selasa (12/4). “Setuju,” jawab semua peserta sidang.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengatakan, RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri dari 93 pasal dan 8 BAB. Badan Musyawarah DPR telah menugaskan Badan Legislasi DPR untuk membahas RUU TPKS.


Ia menyebut, Baleg secara maraton dan intensif melakukan pembahasan mulai dari 24 Maret sampai 6 April 2022. Hal ini sesuai dengan komitmen politik DPR dan Pemerintah untuk sama-sama menerbitkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Baca Juga: Pemerintah Jamin Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Pembahasan RUU TPKS

“Ini adalah salah satu contoh bagaimana komitmen politik yang besar dari anggota dewan, pemerintah serta partisipasi publik yang sangat luas,” ucap Willy.

Willy menyebut, pembahasan RUU TPKS setidaknya melibatkan 20 kelompok masyarakat yang memberikan masukan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan RUU TPKS. Bahkan di saat-saat akhir pun Baleg DPR masih menerima masukan dan audiensi dari beberapa kelompok masyarakat sipil.

Willy menyatakan, RUU TPKS merupakan RUU yang berperspektif pada korban. Aparat penegak hukum memiliki payung hukum/legal standing yang selama ini belum ada terhadap setiap jenis kasus kekerasan seksual. “Ini adalah kehadiran negara bagaimana memberikan rasa keadilan perlindungan kepada korban kekerasan seksual,” ujar Willy.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang mengatur beberapa bentuk kekerasan seksual masih sangat terbatas dari segi bentuk dan lingkupnya.

Baca Juga: Pembahasan Kilat UU IKN di DPR Menjadi Sorotan

“Peraturan perundang-undangan yang tersedia belum sepenuhnya mampu merespon fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di masyarakat,” ucap Bintang.

Bintang menyebut proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan seksual juga masih belum memperhatikan hak korban dan cenderung menyalahkan korban. Selain itu, perlu diatur upaya pencegahan dan pelibatan masyarakat yang menciptakan kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.

Editor: Noverius Laoli