Ekonomi Laos dan Myanmar di Ambang Kebangkrutan



KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Kondisi perekonomian Sri Lanka saat ini benar-benar parah. Sri Lanka sangat membutuhkan bantuan untuk mengatasi krisis terburuknya dalam sejarah. 

Sekolah-sekolah di negara itu ditutup karena kekurangan bahan bakar untuk membawa anak-anak dan guru ke ruang kelas. Menurut Perdana Menteri Sri Lanka, upaya pemerintah untuk mengatur dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) telah terhambat oleh parahnya krisis keuangan.

Melansir Channel News Asia, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada parlemen Selasa (5/7/2022), Sri Lanka sudah menjadi negara bangkrut dan penderitaan akut dari krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya akan bertahan hingga setidaknya akhir tahun depan.


Negara kepulauan yang berpenduduk 22 juta orang itu telah mengalami inflasi selama berbulan-bulan dan pemadaman listrik yang berkepanjangan setelah pemerintah kehabisan mata uang asing untuk mengimpor barang-barang vital.

Wickremesinghe mengatakan negara yang pernah makmur itu akan mengalami resesi yang dalam tahun ini dan kekurangan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan akan terus berlanjut.

"Kami juga harus menghadapi kesulitan pada 2023," kata perdana menteri. "Inilah kebenarannya. Inilah kenyataannya."

Baca Juga: Menlu AS Menyebut Ada Peran Rusia dalam Kekacauan dan Krisis di Sri Lanka

Akan tetapi Sri Lanka bukan satu-satunya ekonomi yang berada dalam masalah serius saat ini. Lonceng alarm juga berdering untuk banyak ekonomi di seluruh dunia, dari Laos dan Pakistan hingga Venezuela dan Guinea.

Melansir AP, menurut laporan yang dirilis oleh Global Crisis Response Group pada bulan lalu dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi dan sistem keuangan.

Tidak hanya itu, sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara dengan “badai sempurna”, sangat rentan terhadap krisis biaya hidup ditambah krisis lainnya. 

Baca Juga: Negara Berkembang Terancam Gagal Bayar Utang Obligasi US$ 237 Miliar

Penyebab pasti kesengsaraan mereka bervariasi. Akan tetapi, semua negara mengalami risiko yang meningkat akibat dari melonjaknya biaya untuk makanan dan bahan bakar yang didorong oleh perang Rusia melawan Ukraina. Akibatnya, Bank Dunia memperkirakan bahwa pendapatan per kapita di negara berkembang akan menjadi 5% di bawah tingkat pra-pandemi tahun ini.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie