Gara-gara Iran dan AS harga minyak meroket, apa kata ekonom dan pemerintah?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak terus meroket setelah ketegangan yang terjadi di Timur Tengah. Beberapa di antaranya adalah harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari 2020 di New York Mercantile Exchange dan harga Brent untuk pengiriman Maret 2020.

Menurut penelusuran dari Kontan.co.id, harga minyak jenis WTI untuk pengiriman Februari 2020 tersebut berada di level US$ 64,33 per barel pada Senin (6/1) pukul 13.37 atau naik sebesar 2,03%. Sementara harga Brent untuk pengiriman Maret 2020 naik di atas US$ 70 per barel.

Menurut Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy, kenaikan harga minyak tersebut bila terus terjadi dalam jangka panjang bisa menjadi kabar buruk bagi negara-negara net importir minyak, salah satunya Indonesia.


Baca Juga: Harga minyak naik, begini rekomendasi saham emiten migas

"Karena ini berpotensi meningkatkan nilai impor minyak dan gas (migas) dalam neraca perdagangan. Padahal pemerintah ingin mengurangi defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id.

Selain itu, kenaikan harga minyak ini juga tidak sesuai dengan asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang sebesar US$ 63 per barel.

Oleh karena itu, Yusuf pun mengimbau agar pemerintah terus memantau eskalasi yang memanas atau malah menurun.

Pemerintah pun dinilai perlu untuk mempersiapkan APBN perubahan atau APBN-P, apalagi berkaitan dengan rencana pemerintah dalam menyesuaikan harga minyak dan pemberian subsidi terkait bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.

Baca Juga: Pemerintah kaji opsi turunkan harga gas, ini tanggapan SKK Migas

Editor: Yudho Winarto