Harga Minyak Mentah Menghangat pada Pekan Lalu, Bagaimana Prospeknya ke Depan?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah sebagai patokan komoditas energi menunjukkan perbaikan harga pada pekan lalu. Berdasarkan data tradingeconomics.com, harga minyak Brent naik 2,31% secara mingguan menjadi US$ 78,82 per barel dan minyak WTI terkerek 3,01% ke US$ 73,81 per barel pada akhir perdagangan Jumat (5/1). 

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, kenaikan harga minyak terjadi seiring dengan melonjaknya persediaan bensin Amerika Serikat (AS) sebesar 10,9 juta barel pada minggu lalu. 

Jumlah tersebut merupakan peningkatan mingguan terbesar dalam lebih dari tiga dekade dan berbanding terbalik dengan ekspektasi penurunan sebesar 1,67 juta barel. 


Stok sulingan juga meningkat sebesar 10,1 juta barel ke level tertinggi dalam dua tahun dibandingkan ekspektasi penurunan sebesar 1,1 juta barel. Sementara itu, persediaan minyak mentah turun sebesar 5,5 juta barel, lebih besar dari ekspektasi penurunan sebanyak 3 juta barel.

Baca Juga: Harga Minyak Menguat di Perdagangan Perdana Tahun 2024

Harga minyak mentah juga mendapat dukungan karena terbatasnya pasokan global setelah Libya pada Rabu (3/1) mengumumkan penutupan ladang minyak Sharara setelah pengunjuk rasa memasuki fasilitas tersebut. Ladang minyak Sharara adalah yang terbesar di Libya dan menghasilkan sekitar 300.000 barel per hari.

Faktor pendorong kenaikan harga lainnya berasal dari meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah yang terus berlanjut, terutama antara militan Houthi dan Iran dengan Angkatan Laut AS. 

"Serangan terhadap pelayaran komersial di Laut Merah telah memaksa pengirim barang untuk mengalihkan pengiriman ke sekitar ujung selatan Afrika daripada melalui Laut Merah, sehingga mengganggu pasokan minyak mentah global," tutur Sutopo saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (5/1). 

Kemudian, secara keseluruhan, Analis Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong mengatakan, ada dua sentimen ekonomi penting yang memengaruhi harga komoditas energi pada tahun ini. Mulai dari minyak mentah, batubara, dan gas alam. 

Sentimen pertama adalah pertumbuhan ekonomi dan dimulainya siklus pemangkasan suku bunga acuan oleh bank-bank sentral dunia. Sentimen kedua adalah perang Israel-Hamas dan Rusia-Ukraina. 

Lukman memprediksi, ekonomi di dunia akan tumbuh sedikit lebih lambat pada tahun ini dibandingkan 2023. AS diperkirakan akan mengalami resesi ringan. 

Baca Juga: Harga Batubara & Gas Alam Jeblok, Harga Minyak Ditopang Konflik Geopolitik di 2023

"Ekonomi China juga diprediksi bakal tumbuh lebih lambat sehingga akan menekan harga komoditas," ucap Lukman, Minggu (7/1). 

Di sisi lain, The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga acuannya sebanyak tiga kali tahun ini yang akan menjadi faktor pendukung harga komoditas. Pemangkasan suku bunga juga akan diikuti oleh sentral dunia lainnya meski belum ada perkiraan seberapa sering penurunan suku bunga akan dilakukan. 

Editor: Tendi Mahadi