Harga minyak mentah terus merosot usai China pangkas impor



KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Harga minyak mentah turun lebih dari 1% pada hari hari ini setelah sebelumnya mencapai level terendah sejak Juli 2020 karena Arab Saudi melakukan pemotongan harga bulanan terdalam untuk pasokan ke Asia dalam lima bulan. Harga si emas hitam juga makin tertekan berkat memudarnya optimisme tentang pemulihan permintaan di tengah pandemi virus corona.

Mengutip Reuters, Senin (7/9) pukul 16.00 WIB, harga minyak mentah jenis Brent kontrak pengiriman November 2020 berada di US$ 41,95 per barel, turun 71 sen atau 1,7%. Bahkan, harga Brent sempat meluncur ke US$ 41,51, terendah sejak 30 Juli.

Setali tiga uang, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Oktober 2020 tergelincir 71 sen, atau 1,8% menjadi US$ 39,06 per barel, setelah sebelumnya turun menjadi US$ 38,55, terendah sejak 10 Juli.


Tekanan bagi harga minyak datang setelah banjir pasokan minyak mentah dan bahan bakar tetap terjadi meskipun sudah ada pemotongan pasokan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, dan upaya pemerintah untuk merangsang ekonomi global dan permintaan minyak. 

Baca Juga: Dipicu sentimen Badai Laura, ICP Agustus naik jadi US$ 41,63 per barel

Akibatnya, pabrik penyulingan telah mengurangi produksi bahan bakar mereka, menyebabkan produsen minyak seperti Arab Saudi menurunkan harga untuk mengimbangi penurunan permintaan minyak mentah.

"Sentimen telah menjadi suram dan mungkin ada beberapa tekanan jual ke depan," kata Howie Lee, ekonom Bank OCBC Singapura.

Hari libur pada hari ini yang menandai akhir tradisional dari puncak musim permintaan musim panas di Amerika Serikat dan memperbaharui fokus investor pada permintaan bahan bakar yang lesu saat ini di pengguna minyak terbesar di dunia.

China, importir minyak terbesar dunia yang telah mendukung harga dengan rekor pembelian, kini mulai memperlambat asupannya pada Agustus. Hal tersebut berdasarkan data bea cukai yang dirilis hari ini. 

"Pasokan yang melimpah, kekhawatiran melonggarnya kepatuhan OPEC +, akhir musim mengemudi AS dan posisi lama yang basi semuanya digabungkan untuk mengikis kepercayaan pada minyak," kata Senior Market Analyst OANDA Jeffrey Halley dalam sebuah catatan.

Editor: Anna Suci Perwitasari