Heboh gelombang penahanan di Arab Saudi, reputasi putra mahkota semakin tercoreng



KONTAN.CO.ID - RIYADH. Reputasi Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman sudah tercoreng di mata Barat. Ada dua kasus besar yang disoroti. Yakni, pembunuhan jurnalis  Jamal Khashoggi dan perang Yaman yang menghancurkan.

Belakangan, aksi putra mahkota kembali disorot. Penyebabnya tak lain karena dilakukannya penahanan terhadap sejumlah intelektual, penulis dan aktivis di negara kerajaan tersebut. 

Gelombang baru penahanan itu terjadi ketika kerajaan itu menjadi presiden untuk Kelompok Grup 20 di tengah kecaman Barat terhadap catatan hak asasi manusianya.


Baca Juga: Arab Saudi jebloskan kaum intelek, penulis dan pengusaha ke penjara, ada apa?

Seorang sumber Reuters yang merupakan pejabat Saudi mengatakan, para tahanan ditanyai tentang kecurigaan pemerintah terkait penerimaan dana dari negara asing dan berkoordinasi dengan organisasi-organisasi yang anti pemerintah. Sayang, dia tidak memberikan rincian atau bukti lebih lanjut terkait hal tersebut.

Kendati demikian, Pemerintah Arab Saudi akhirnya membebaskan 11 warga negara yang ditahan selama beberapa hari sejak bulan lalu.

Disebutkan pula, tidak ada satu pun dari mereka yang didakwa. "Akan tetapi kasusnya tetap terbuka dan dakwaan masih bisa dijatuhkan," tambah pejabat yang tidak bersedia disebutkan namanya itu.

Baca Juga: Raja Salman: Sudah waktunya menghentikan kekacauan yang Iran lakukan

Sejumlah sumber Reuters, termasuk kelompok hak asasi manusia Saudi yang berbasis di London ALQST, mengatakan pekan lalu bahwa sekitar 10 orang, kebanyakan penulis dan intelektual, telah diambil secara paksa dari rumah mereka oleh polisi berpakaian preman. Pada hari Minggu (1/12), sumber-sumber itu belum mengkonfirmasi pembebasan semua orang.

Para aktivis mengecam penahanan yang dinilai sebagai gelombang terbaru dalam pembungkaman perbedaan pendapat yang dimulai pada September 2017 dengan penangkapan ulama-ulama Islam terkemuka, yang beberapa di antaranya kini dapat menghadapi hukuman mati.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie