KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Produsen nikel yang sedang membangun smelter kini dibuat cemas. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun beleid berkenaan dengan percepatan peghentian ekspor bijih nikel (ore) secara total. Sejatinya, pemerintah sudah memiliki rencana untuk menutup ekspor nikel ore pada tahun 2022. Hal ini bersamaan dengan target penyelesaian pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
Baca Juga: Progres Proyek Smelter Wajib Mencapai 30% Tahun Ini Rencana penyetopan yang dipercepat itu dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin. Ia bilang, pihaknya sudah diajak berdialog dengan pemerintah dalam rencana penerbitan aturan baru untuk mempercepat penyetopan ekspor bijih nikel itu. Hanya saja ia enggan membeberkan isi dari aturan yang pernah dibicarakan. "Iya sedang dibuat aturan. Poinnya revisi, stop ekspor," terangnya kepada KONTAN. Baginya, pemerintah harus konsisten dengan PP 01/2019, bahwa pemberlakuan penghentian ekspor baru bisa dilakukan pada tahun 2022. Sebab ia takut, jika keputusan pemberhentian ekspor dikeluarkan dalam waktu cepat, maka akan banyak kerugian yang dialami penambang maupun pembuat smelter.
Seperti misalnya, akan ada banyak tambang nikel yang tutup karena tidak bisa diekspor, berimbas pada harga yang tidak balancing. "Harga ekspor dan harga lokal kan mati. Nanti terjadi kartel, ada yang menguasai harga dan kita tidak sanggup," terangnya. Terlebih lagi, banyak yang tengah mengembangkan smelter, namun tidak ada pemasukan dana melalui penjualan bijih nikel yang diekspor. Alhasil, pembangunannya mangkrak. Seperti diketahui, pengaturan dan pelarangan ekspor mineral mentah sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba. Pasal 103 ayat (1) dalam beleid tersebut mewajibkan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Baca Juga: Kementerian ESDM yakin hilirisasi mineral lewat 57 smelter bisa selesai 2022 Lebih lanjut, pada Pasal 170 disebutkan bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan.
Editor: Azis Husaini