IKATSI mendesak pemerintah membenahi birokrasi pro impor produk tekstil



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menyoal kegeraman Presiden Jokowi atas serbuan produk impor di banyak sektor perdagangan barang, Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) menilai bahwa perlu dilakukan pembenahan birokrasi di beberapa kementerian terkait perekonomian.

IKATSI menilai pengaruh pola pikir sebagian birokrasi yang pro impor menjadi hambatan pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor manufaktur termasuk sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).

Direktur Eksekutif IKATSI, Riza Muhidin menyoroti kasus safeguard garment, di mana hasil penyelidikan Komite Perlindungan Pasar Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan selama hampir satu tahun dan merekomendasikan pengenaan safeguard terhadap 134 HS (7 segment) pakaian jadi selama 3 tahun justru berusaha dipereteli oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP).


“Dari informasi yang kami dapat, BPPP meminta agar 75 nomor HS hanya dikenakan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) sebesar 5%,” ungkap Riza dalam siaran pers yang diterima Kontan, Kamis (8/4).

IKATSI menilai, usulan BPPP sangat tidak masuk akal karena jika dihitung harga pakaian impor yang dijual sekitar Rp 30.000, berarti besaran BMTP-nya hanya Rp 1.500 per potong. Riza menilai usulan ini mempermainkan hasil penyidikan KPPI yang merekomendasikan BMTP rata-rata Rp.100.000 per potong.

Baca Juga: Pelaku industri kimia, farmasi, dan tekstil Indonesia bersiap terapkan industri 4.0

“Disini kita bisa menilai bagaimana BPPP Kemendag sangat melindungi barang impor agar bisa tetap membanjiri pasar dalam negeri, padahal penyidikan KPPI membuktikan adanya injury yang diderita oleh produsen pakaian jadi nasional atas banjirnya barang impor selama bertahun-tahun,” terang dia.

Analisis yang dilakukan IKATSI memperlihatkan bahwa jika 130.000 ton garmen yang selama ini diimpor bisa disubstitusi oleh produk dalam negeri, maka perekonomian negara akan mendapat manfaat yang sangat besar. Sebab, dampaknya bukan hanya untuk industri garmen itu sendiri, melainkan juga untuk produsen di sektor mid-stream dan di up-stream.

“Kita bisa lihat bahwa safeguard tidak hanya menghemat US$ 850 juta devisa, tetapi juga mendorong kegiatan produksi sebesar Rp 22,6 trilyun atau US$ 1,5 miliar. Belum lagi setoran BPJS tenaga kerja yang diambil dari gaji tenaga kerja yang memproduksi barang substitusi itu,” ujar Riza.

IKATSI berharap agar BPPP Kemendag dan BAPENAS segera menyetujui implementasi BMTP ini menyusul Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang sudah lebih dulu menyetujuinya.

Riza menekankan agar Presiden Jokowi segera bertindak membenahi para birokrat dan pejabat yang tidak satu visi membangun negeri melalui kegiatan ekonomi dalam negeri, khususnya di sektor manufaktur. “Birokrasi dan pejabat yang beda visi dengan Presiden ini akan membuat kita selamanya ketergantungan dengan produk impor dan terus menggerogoti devisa,” katanya.

Editor: Handoyo .