Indonesia dibayang-bayangi taper tantrum karena lonjakan imbal hasil obligasi AS?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS) membuat pasar was - was. Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut, kenaikan imbal hasil yang lebih tinggi berpotensi merusak pasar, mata utang, obligasi dan saham di negara berkembang. 

"Saya hanya punya sedikit waktu untuk menyesuaikan diri," kata Basri, dikutip dari Economist, Minggu (7/3). 

Akibatnya, regulator di negara berkembang sekarang khawatir atas dampak kenaikan imbal tersebut. Sebab, imbal hasil obligasi melonjak pada akhir bulan lalu, sementara pasar saham turun lebih dari 7% dalam kurun waktu lebih dari seminggu. 


Baca Juga: Sistem TIK Ditjen Pajak semakin buruk

Pasar dalam keadaan tenang dalam beberapa hari terakhir. Tetapi jika mereka kembali kehilangan ketenangan, negara berkembang mana yang akan terkena dampak paling parah dan mengapa?

Salah satu cara untuk mengidentifikasi korban di masa depan adalah dengan melihat karakteristik korban di masa lalu. Kembali pada tahun 2013, Indonesia adalah salah satu kelompok pasar berkembang yang kurang beruntung dan dijuluki lima negara paling rentan oleh James Lord dari Morgan Stanley. 

Grup tersebut termasuk Brazil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Semuanya berjuang menghadapi tekanan inflasi, nilai tukar yang dinilai terlalu tinggi, dan defisit neraca berjalan yang mencolok, antara lain dihitung dari tingkat defisit perdagangan negara. 

Bahkan, beberapa bulan setelah tertekan, Indonesia melaporkan bahwa PDB defisit menjadi 4,4%. "Pasar mengalami shock," kata Basri. 

Faktor serupa digabungkan menjadi indeks kerentanan oleh ekonom Fed pada 2014 lalu. Secara umum, semakin buruk skor indeks suatu negara maka mata uang mereka akan jatuh sehingga memicu gejolak ekonomi atau taper tantrum dari kebijakan moneter AS. 

Baca Juga: Sri Mulyani dorong perempuan muda berjiwa pemimpin

Sejak saat itu, pejabat The Fed menilai, pasar negara berkembang begitu sensitif terhadap pernyataan dan tindakan The Fed walaupun ini masih bergabung pada kondisi fundamental ekonomi di negara berkembang tersebut. 

Bagi para kritikus The Fed, itu terdengar seperti menyalahkan korban. Tetapi ini juga merupakan pesan yang penuh harapan. Ini menyiratkan bahwa pasar negara berkembang memiliki kendali atas nasib mereka sendiri. Mereka bukan objek pasif murni dari efek keputusan kebijakan Fed seperti yang dikatakan oleh Ben Bernanke pada 2015 lalu. 

Editor: Tendi Mahadi