Informasi penting di balik liquidity provider



JAKARTA. Kalimat liquidity  provider mungkin belum terlalu akrab di telinga Anda. Sekadar informasi, liquidity provider atau penyedia likuiditas bisa bertindak sebagai penyelenggara pasar atau market maker. Dengan adanya liquidity provider, saham dengan jumlah peredaran atau float yang kecil bisa menjadi lebih hidup.

Sebagai contoh, pasar berjangka dan instrumen derivatif biasanya memiliki aktivitas perdagangan yang kurang hidup. Namun, likuiditasnya masih tetap terjaga karena ada skema liquidity provider.

"Pasar saham juga ada (liquidity provider) tapi memang tidak informal," ujar Samsul Hidayat, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa PT Bursa Efek Indonesia (BEI) belum lama ini.


Sederhananya, liquidity provider adalah pihak yang menjamin adanya posisi beli ketika ada yang ingin jual saham dan begitu pula sebaliknya. Jadi, likuiditas lebih terjamin. Pihak yang menjadi liquidity provider umumnya sekuritas. Morgan Stanley salah satu contoh liquidity provider.

Pembahasan mengenai hal ini muncul seiring langkah otoritas bursa dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengkaji urgensi diadakannya liquidity provider di bursa lokal. Wacana ini mengemuka setelah bursa ingin membuka pintu initial public offering (IPO) bagi sektor Usaha Kecil Menengah (UKM).

Lantas, kenapa UKM? Dari segi nilai perusahaan, UKM tidak begitu besar. Otomatis, emisi yang dilepas nanti juga kecil sehingga float sahamnya juga kecil. Karena kecil, belum tentu ada institusi atau fund manager yang mau masuk. Ujung-ujungnya, sahamnya malah bisa menjadi saham tidur.

Nah, disinilah fungsi keberadaan liquidity provider. Ia bertindak sebagai penyelenggara pasar, menjamin adanya jual beli saham UKM yang bersangkutan hingga periode tertentu. Sehingga, likuiditasnya lebih terjaga.

Kalau likuiditas terjaga, siapa yang enak? Keduanya. Sekuritas mendapat fee transaksi, sementara si UKM menjadi lebih mudah untuk melakukan aksi korporasi lanjutan setelah IPO.

Sayang, Direktur Utama BEI Tito Sulitio masih enggan merinci susah sampai mana kajian terkait hal ini dilakukan.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie