Ini alasan mengapa nelayan China percaya diri menangkap ikan di dekat Natuna



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Saat ini, ketegangan mungkin sudah mereda antara China dan Indonesia, setelah sebelumnya terjadi lagi pertikaian menyangkut perairan yang kaya ikan di Laut China Selatan. Akan tetapi, armada penangkapan ikan tetap menjadi inti dari sengketa wilayah yang panas.

Melansir South China Morning Post, Kepulauan Natuna di lepas pantai Kalimantan dikelola oleh Indonesia. Akan tetapi, perairan di dekat kepulauan tersebut diklaim oleh China sebagai bagian dari daerah penangkapan ikan tradisionalnya.

Baca Juga: Pakar hukum: Dunia internasional heran, kapal TNI bersiaga di perairan Natuna


Beijing tampaknya berusaha menggarisbawahi maksudnya ketika kapal-kapal nelayan yang dikawal oleh kapal penjaga pantai China masuk ke daerah itu pada pertengahan Desember. Tindakan itu memicu protes dari Jakarta. Jakarta juga berjanji mereka akan mengirim sekitar 120 nelayan ke perairan untuk mengkonsolidasikan kontrolnya.

Pada hari Kamis, sehari setelah Presiden Indonesia Joko Widodo melakukan kunjungan besar ke pangkalan militer di pulau-pulau itu, angkatan bersenjata Indonesia mengkonfirmasi bahwa kapal-kapal China telah meninggalkan daerah itu.

Untuk sementara, risiko konflik telah menurun. Di balik itu, kapal-kapal penangkap ikan dari kedua negara terus mengintai. Mereka berharap akan ada kode etik kelautan di wilayah tersebut dan Laut China Selatan yang lebih luas.

Baca Juga: Nasib Satgas 115 bentukan Susi berada di tangan Jokowi

Sebagai salah satu wilayah perikanan paling penting di dunia, Laut China Selatan telah lama menjadi medan perang, dengan negara-negara pesisir menggunakan nelayan mereka untuk memperluas daerah penangkapan ikan dan secara bersamaan melakukan dominasi maritim.

Penangkapan ikan di Laut China Selatan, yang China katakan telah dilakukan oleh para nelayannya selama berabad-abad, telah dikutip sebagai salah satu bukti kunci Beijing untuk klaim "nine-dash line" dari hampir semua Laut China Selatan dan sumber daya di dalam daerah, meskipun pengadilan internasional di Den Haag memutuskan pada 2016 bahwa "tidak ada dasar hukum" di balik hak-hak bersejarah Tiongkok.

Baca Juga: Pasca kunjungan Jokowi ke Natuna, kapal ikan asing malah bertambah

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie