Ini catatan Kadin soal program PEN tahun 2020



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyampaikan beberapa evaluasi tentang program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2020.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, tahun lalu program perlindungan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan demand atau permintaan masyarakat sudah efektif.

Ia menilai, program dengan pagu Rp 233,69 triliun itu lebih tepat sasaran dibandingkan stimulus di sisi suplai yang faktor terbesarnya ada pada penyaluran kredit dari sektor perbankan atau quantitative easing.


Melalui stimulus perlindungan sosial, masyarakat kelas menengah bawah bisa tetap bertahan. Dus, sampai saat ini Indonesia tidak mengalami kekacauan sosial sepanjang pandemi seperti panic buying atau kerusuhan seperti di negara lain.

Baca Juga: Begini prediksi pengusaha soal pertumbuhan ekonomi di tahun ini

Alhasil, permintaan konsumsi dan inflasi nasional masih bisa terkendali di 2020 karena distribusi program pemulihan ekonomi nasional (PEN) kepada masyarakat cukup berhasil melindungi masyarakat dari extreme poverty.

Namun demikian, Shinta mengatakan, PEN untuk korporasi yang efektif hanya pada program restrukturisasi kredit dan relaksasi fiskal, khususnya diskon angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 sebesar 50%.

Kedua program ini sangat efektif untuk mengurangi tekanan cashflow perusahaan sehingga perusahaan bisa survive lebih lama di tengah pandemi.

Sementara itu, untuk distribusi kredit usaha sangat minim karena banyak bank yang tidak mau menanggung risiko kenaikan non performing loan (NPL) meskipun sudah ada dorongan dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meningkatkan likuiditas bank.

Selain itu, juga ada masalah penundaan yang lama pada distribusi PEN korporasi karena kekhawatiran pemerintah terhadap risiko moral hazard. Karena itu, Shinta mengakui tingkat PHK menjadi tinggi di perusahaan-perusahaan padat karya dan banyak perusahaan yg memberlakukan strategi efisiensi biaya usaha termasuk biaya SDM secara besar-besaran.

“Ini sangat mempengaruhi daya beli dan confidence konsumsi masyarakat secara negatif. Karena itu, proses pemulihan permintaan konsumsi nasional sangat lambat, jauh lebih lambat dibanding yang kita perkirakan di awal pandemic,” kata Shinta kepada Kontan.co.id, Jumat (1/1).

Akibatnya, kata Shinta, proses pemulihan ekonomi nasional menjadi sangat lambat karena motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh konsumsi domestik. Maka wajar ekonomi saat ini masuk zona resesi dan masih mengalami pertumbuhan negatif. Pun perbaikan level minus ekonomi cenderung tipis.

Baca Juga: Peneliti LIPI: UU Cipta Kerja gairahkan investasi dan perdagangan internasional

Editor: Khomarul Hidayat