KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) melihat investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia diprediksi akan lebih tinggi dibandingkan 2023 karena banyaknya proyek-proyek besar yang akan dieksekusi tahun ini. Seperti diketahui, investasi EBT di Indonesia pada 2023 akan menjadi yang paling rendah dalam 6 tahun belakangan. Berdasarkan data Kementerian ESDM sampai dengan November 2023, realisasi investasi Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) baru mencapai US$ 1,17 miliar atau 64,49% dari target yang senilai US$ 1,8 miliar. Berdasarkan data realisasi investasi EBTKE Kementerian ESDM di 2022, sejak 2017-2022 tren investasi EBTKE bergerak cukup fluktuatif di kisaran US$ 1,36 miliar sampai US$ 1,96 miliar.
Perinciannya, realisasi EBTKE di 2017 senilai US$ 1,96 miliar, kemudian 2018 senilai US$ 1,53 miliar, 2019 senilai US$ 1,71 miliar, 2020 senilai US$ 1,36 miliar, 2021 senilai US$ 1,55 miliar, dan 2022 senilai US$ 1,55 miliar.
Baca Juga: Getol Menggarap Pembangkit EBT, Intip Rekomendasi Saham Kencana Energi (KEEN) Berikut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menjelaskan, investasi EBT yang melempem di 2023 karena sejak 2020 lelang pembangkit energi terbarukan sangat sedikit. Ditambah pada 2021 di masa Covid-19, lelang EBT tidak dilakukan. Kemudian pada 2022 pengadaan pembangkit hijau mulai kembali berjalan hanya saja belum terlalu ramai. “Tentu kalau tidak ada proyek yang dilelang, maka investasi tidak banyak,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (7/1). Persoalan EBT ini semakin diperkeruh dengan kondisi
oversupply listrik PT PLN di sistem Jawa-Bali sehingga penambahan kapasitas EBT dalam beberapa tahun terakhir sangat lambat. Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Surya Darma menyatakan selama 2023 Indonesia mengalami pelandaian investasi energi terbarukan karena disebabkan sejumlah faktor kondisi dan kebijakan nasional. “Kondisi kelistrikan Indonesia yang
over supply dalam beberapa tahun belakangan dan ke depan menjadi alasan kuat untuk tidak banyak menerima energi terbarukan. Walaupun di lain pihak pembangunan PLTU masih terus dilanjutkan tanpa terhalang oleh
over supply,” ujarnya belum lama ini. Persoalan yang menghambat investasi EBT di Indonesia sejatinya belum banyak berubah dari beberapa tahun silam, salah satunya persoalan sosial di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). “Masalah sosial biasanya terjadi karena ada
conflict of interest. Ini perlu dicermati dan diselesaikan,” jelasnya.
Baca Juga: Produksi Listrik EBT Pertamina NRE Tumbuh 18% pada Tahun Lalu Selain masalah sosial, kerap kali proyek panas bumi terkendala harga jual listrik yang tidak mencapai nilai keekonomiannya. Investasi EBT di 2024 Akan Naik Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa memprediksi, tahun ini investasi pembangkit EBT akan lebih baik dibandingkan 2023. “Masih ada harapan investasi lebih baik di tahun ini. Namun ini tergantung eksekusi proyek-proyek besar yang rencananya akan diimplementasi dan mulai berjalan di 2024,” tambahnya. Misalnya saja, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tanah Laut berkapasitas 70 MW di Kalimantan Selatan yang juga dilengkapi sistem penyimpanan energi baterai atau Battery Energy Storage System (BESS) sebesar 10 MWh akan masuk fase konstruksi awal 2024 dan mencapai Commercial Operation Date (COD) 2025.
Editor: Tendi Mahadi