KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana desa menjadi salah satu program prioritas pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Lalu bagaimana program dana desa dijalankan dengan anggaran yang mencapai Rp 120 triliun tahun 2017 ini?. Dalam Seminar Kelompok Penelitian (Kelti) "Menyoal Kesenjangan Sosial Daerah", Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemdes PDTT) Anwar Sanusi memaparkan bagaimana perhatian pemerintah pada pedesaan. "Melihat kebijakan pemerintah yang sebelumnya, belum dilakukan pendekatan yang komprehensif, holistik," jelasnya dalam seminar yang diadakan di Hotel Puri Denpasar, Jakarta, Selasa (24/10).
Adapun program-program yang pernah dilakukan oleh pemerintah saat ini bersifat parsial. Contohnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di mana hanya memfokuskan kebijakan ke dalam beberapa desa yang secara spesifik masuk ke dalam cluster desa tertinggal. Di tahap selanjutnya, Anwar mengungkapkan pemerintah mengembangkan program yang dikenal dengan nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan atau PNPM Pedesaan. "Itupun basis locus-nya bukan di tingkat pedesaan, tetapi di tingkat kecamatan, sehingga kemudian dikenal program-program dengan nama UPK, Unit Pengelola Kegiatan yang dilaksanakan di level kecamatan," katanya. UPK dalam beberapa aspek mampu mencatat satu prestasi yang menyetarakan aktivitas ekonomi, terutama yang dikelola oleh perempuan yang dikenal dengan nama Usaha Simpan Pinjam Perempuan, Usaha Simpan Pinjam yang Dikelola oleh Perempuan, sehingga Kemdes PDTT memiliki komitmen untuk terus melanjutkannya. Anwar mengatakan, ini merupakan wujud dari dana desa yang saat itu ada sekitar Rp 10 triliun yang kini ada di atas Rp 12 triliun. Angka ini pun terus digenjot oleh Kemdes PDTT untuk ditingkatkan sebagai kekuatan ekonomi yang bisa dilakukan untuk mendorong pemecahan problematika pedesaan. "Terkait program dana desa yang sudah dijalankan sebelumnya, maka hadirnya Undang-Undang Desa dalam konteks ilmu keagamaan merupakan ijtihad politik yang luar biasa, artinya kita melihat desa bukan dalam perspektif objek saja, tetapi desa adalah aktor dan pelaku yang memiliki otoritas dan diskresi yang luar biasa untuk menggunakan dan mengelola dana desanya," jelas Anwar. Oleh karena itu pendekatan penggunaan dana desa menurutnya harus berbasis kepada dua azas utama. Pertama prinsip rekognisi, yang artinya, pemerintah atau negara mengakui adanya desa sebagai intitas bukan hanya
self-government tetapi
self-governing community (komunitas yang berpemerintahan). "Bukan hanya desa milik pemerintah yang kita bicara eksekutifnya, tapi juga pemerintahannya, dua-duanya ini dihadirkan, sehingga di level pedesaan dikenal dengan namanya BPD (Badan Perwakilan Desa) sebelum Undang-Undang, maka sekarang BPD itu dikenal Badan Permusyawaratan Desa, yang merupakan miniatur negara di tingkat desa," lanjutnya. Rekognisi ini yang kemudian ingin diakui oleh negara. "Dan ini adalah jiwa dan spirit dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa." Kedua, azas prinsip subsidiaritas. Dalam prinsip ini, ia menegaskan urusan pedesaan bukan diberikan kepada pemerintah dulu yang kemudian sisanya diberikan kepada tingkat pedesaan.
Anwar menjelaskan, problematika pedesaan bukan diselesaikan oleh supradesa tetapi desa itu sendiri. Maksudnya, supra desa adalah adanya pembangunan di desa, tetapi masyarakat desa tidak memiliki kendali dalam pembangunan yang menjadi kebutuhan masyarakat pedesaan. Lebih lanjut, Anwar memaparkan sumber daya manusia (SDM) di tingkat pedesaan masih didominasi oleh masyarakat berpendidikan cukup rendah, seperti apa yang diungkapkan oleh Deputi bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) Tri Nuke Pujiastuti sebelumnya di mana 60% masyarakat pedesaan berpendidikan menengah ke bawah. Ditambah, kondisi urbanisasi yang membuat desa menjadi wilayah yang tidak memberikan harapan. Sehingga orang desa yang dulunya dididik di kota, jarang kembali ke desanya. Bicara soal problematika pedesaan, Kemdes PDTT mencoba membaginya menjadi lima kelompok yang dikenal dengan indeks desa membangun.
Editor: Yudho Winarto