Kinerja ADRO diramal tertekan harga batubara, ini rekomendasi analis



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi virus corona telah membuat komoditas batubara tertekan dan berujung pada berlebihnya pasokan sementara permintaan mengalami penurunan.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) pun mengumumkan produsen batubara berencana untuk memangkas produksi tahun ini hingga 15% - 20% guna menjaga profitabilitas produsen.

Baca Juga: Nippon Indosari Corpindo (ROTI) memproyeksikan belanja modal Rp 400 miliar di 2020


Kendati demikian, rupanya PT Adaro Energy Tbk (ADRO) belum ada rencana untuk memotong target produksi batubara pada tahun ini. Berdasarkan catatan Kontan.co.id, ADRO menargetkan bisa menghasilkan 54 juta - 58 juta ton batubara pada tahun 2020.

Keputusan ADRO yang tidak memotong target produksi, dinilai analis Samuel Sekuritas Dessy Lapagu merupakan hal yang wajar. Hanya saja, Dessy mengatakan ADRO tetap akan terkena imbas negatif, khususnya dari sisi pendapatan.

“Tanpa pemangkasan target produksi, secara historis, target produksi ADRO setiap tahun juga cenderung stabil dengan strategi company untuk menjaga ketersediaan reserves dan tidak overly optimistic. Meski volume stabil, namun potensi pelemahan revenue cukup terbuka seiring tren harga batubara yang menurun,” ujar Dessy kepada Kontan.co.id, Selasa (7/7).

Sementara analis Maybank Kim Eng Securities Isnaputra Iskandar dalam risetnya pada 10 Juni 2020 menuliskan titik terendah harga batubara telah terlewati setelah sempat berada di level US$ 50 per ton pada April kemarin. Dengan dibukanya kembali ekonomi, Isnaputra memperkirakan harga batubara akan terus naik secara bertahap.

Baca Juga: Simak saham berbasis komoditas pilihan Mirae Asset Sekuritas untuk pekan ini

“Kami perkirakan harga batubara akan semakin membaik walau sepertinya akan sulit untuk bisa melebihi level US$ 65 per ton pada akhir tahun nanti. Hal ini tidak terlepas dari masih rendahnya permintaan meski ekonomi mulai pulih sehingga proyeksi kami rata-rata harga batubara pada tahun ini di kisaran US$ 62 per ton, atau turun 18,4% secara year on year (yoy),” tulis Isnaputra.

Editor: Tendi Mahadi