Kinerja Reksadana Diproyeksi Menguat di Semester II-2024, Cermati Sentimennya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja reksadana kini tengah mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari turunnya Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana dan Dana kelolaan atau asset under management (AUM).

Beragamnya pilihan investasi, rupanya juga membuat investor mulai beralih ke instrumen lain.

Direktur Utama Surya Timur Alam Rayat Asset Management (STAR AM), Hanif Mantiq, mengatakan, kinerja reksadana terus turun karena adanya fenomena pengalihan investasi dari reksadana ke Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) oleh nasabah institusi terutama asuransi.


Selain itu, Hanif menuturkan bahwa sentimen lainnya juga karena volatilitas di pasar saham masih besar, sehingga membuat para investor mencari investasi yang lebih aman seperti emas dan obligasi.

Baca Juga: Meski Dana Kelolaan Turun, Reksadana Pendapatan Tetap Diramal Makin Diminati

Meski begitu, dia melihat prospek kinerja reksadana di semester II-2024 akan bergerak positif, terutama karena adanya sentimen penurunan suku bunga fed fund rate. Pasalnya menurut hanif, jika pemangkasan suku bunga the Fed dilakukan, maka akan memberikan dorongan terhadap kinerja reksadana ke depan.

"Saya rasa kalau suku bunga turun, maka kinerja semua produk reksadana bisa kembali menguat atau bergerak positif," kata Hanif kepada Kontan.co.id, Rabu (10/7).

Dia memperkirakan bahwa ke depannya, reksadana saham akan menjadi unggulan atau banyak diminati karena potensi kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sampai akhir tahun masih di kisaran level 7.800.

Hanif menyebutkan, di STAR AM sendiri, reksadana yang mengalami penurunan paling tajam adalah reksadana proteksi, di mana anjlok hampir 18% atau sekitar Rp 1,2 triliun secara year to date (YTD). Sedangkan produk reksadana pendapatan tetap milik STAR AM naik 20% menjadi Rp 1,5 triliun secara YTD.

Baca Juga: IHSG Bergerak Fluktuatif ke 7.249,68 di Awal Perdagangan Selasa (9/7)

Sementara itu, menurut Hanif, turunnya kinerja reksadana tidak dipengaruhi oleh aset kripto. Pasalnya, risiko dalam berinvestasi di aset kripto lebih tinggi dibandingkan dengan produk investasi reksadana. 

Dia melihat bahwa saat ini investor lebih banyak yang beralih ke investasi obligasi pemerintah. Hal ini terlihat dari kepemilikan retail yang terus meningkat selama dua tahun terakhir.

Editor: Noverius Laoli