KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Presiden Kamala Harris menghadapi tantangan besar dalam kampanyenya menuju Gedung Putih. Dalam sebuah pertemuan pada bulan September dengan International Brotherhood of Teamsters, salah satu serikat pekerja paling berpengaruh di Amerika, Harris berjanji akan melindungi pekerjaan dan kesejahteraan pekerja lebih baik daripada Donald Trump. Namun, serikat pekerja yang telah lama bersekutu dengan Partai Demokrat tampak meragukan klaim tersebut.
Baca Juga: Donald Trump Terpilih Kembali sebagai Presiden AS, Lebih Dipercaya Urus Ekonomi Para pemimpin serikat bahkan mempertanyakan apakah Harris dan Presiden Joe Biden telah melakukan cukup banyak untuk mendukung para pekerja, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pemimpin Teamster yang hadir dalam pertemuan tersebut. Hanya beberapa hari setelah pertemuan itu, serikat pekerja secara terbuka menolak mendukung Harris, sebuah langkah yang belum pernah mereka ambil terhadap calon dari Partai Demokrat sejak tahun 1996. Kekalahan Harris dalam pemilu 2024 mencerminkan kegagalannya dalam menjalin hubungan dengan pemilih kelas pekerja, yang khawatir tentang kondisi ekonomi dan inflasi yang tinggi.
Baca Juga: Kamala Harris Belum Akui Kekalahan Saat Trump Melaju Menuju Kemenangan Setelah Biden mundur dari pencalonan beberapa bulan sebelum Hari Pemilihan, Harris memulai kampanyenya dengan cepat, mengusung agenda populis dan hak-hak reproduksi.
Meskipun ia mencatatkan sejarah sebagai wanita kulit berwarna pertama yang memimpin pencalonan dari partai besar, kampanye Harris tak mampu mengatasi kekhawatiran pemilih tentang inflasi dan imigrasi, dua isu yang dianggap lebih menguntungkan Trump. Dalam pemilu ini, Trump meraih 279 suara elektoral, unggul dari Harris yang memperoleh 223 suara. Kekalahan Harris menggarisbawahi pergeseran signifikan dalam politik Amerika, di mana pemilih kelas pekerja semakin condong ke Partai Republik.
Baca Juga: Rusia Buka Peluang Mengatur Ulang Hubungan dengan AS Setelah Trump Klaim Kemenangan Selain itu, Harris menghadapi tantangan dalam menghadapi banjir misinformasi yang disebarkan oleh Trump dan media sayap kanan.
Editor: Noverius Laoli