Maraknya produk impor murah ancam keberadaan industri teksil lokal



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Keberadaan industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) lokal kian terancam oleh maraknya barang impor murah yang membanjiri pasar domestik. Hal itu dibuktikan dengan anjloknya rata-rata utilisasi industri TPT menjadi sekitar 55% dari sebelumnya yang sudah mencapai 70% di akhir tahun 2020. 

Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI), Redma Gita mengatakan, barang impor yang masuk ke pasar domestik meliputi barang jadi (pakaian jadi) maupun unprosedural (kain dan benang).

Yang mana, barang impor tersebut sudah membanjiri platform penjualan daring yang masuk melalui pusat logistik berikat (PLB) E-commerce.


"Barang impor bisa murah karena adanya subsidi ekspor di negara asal," ungkap Redma saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (13/6). 

Baca Juga: LPS menilai sektor-sektor ini siap melakukan ekspansi bisnis

Barang impor yang sebagian besarnya merupakan barang sisa di kawasan industri merupakan faktor lain yang menyebabkan barang-barang tersebut bisa dijual dengan harga murah atau miring (dumping). 

"Masuk ke sini juga borongan (bayar pajaknya kecil), PPN yang dibayar final (gunggung) itu pun dari volume dan harga yang sudah di-under invoice dan under volume. Alhasil barang impor masuk sangat murah," tambahnya.

Selain gempuran barang impor murah yang semakin menghambat penjualan, industri TPT lokal juga dihadapkan dengan kendala pada kegiatan ekspor, yang turut mendorong anjloknya rata-rata utilisasi di tahun ini. Redma bilang, mahalnya freight cost ke negara tujuan ekspor membuat beberapa perusahaan memilih untuk menurunkan utilisasi mereka. 

"Sedangkan ekspor terkendala dengan mahalnya freight cost ke negara tujuan ekspor yang naik 4 kali lipat," kata dia.

Baca Juga: PGN akan menyalurkan gas sampai sekitar 2,5 BBTUD ke Aroma Kopikrim

Editor: Noverius Laoli