Masih masa transisi, produksi Freeport Indonesia masih terpangkas 50% di tahun ini



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Freeport Indonesia (PTFI) masih dalam proses transisi penambangan dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah. Alhasil, PTFI masih belum bisa melakukan produksi bijih dan konsentrat tembaga secara optimal.

Direktur Utama PTFI Tony Wenas mengatakan, proses transisi tersebut membuat tingkat produksi bijih tembaga menurun. Menurut Tony, penurunan drastis terjadi selama dua tahun ini. Ia bilang, pada tahun 2019-2020, terjadi penurunan sekitar 50% dari kapasitas produksi normal PTFI yang ada di angka 300.000 ton bijih per hari.

Baca Juga: Bangun smelter, Freeport siap tarik pinjaman US$ 2,8 miliar dari sembilan bank


Tony mengatakan, produksi bijih baru akan naik pada tahun 2021 ke tingkat 75%-80% dari kapasitas produksi. Sedangkan produksi akan kembali stabil ke posisi 210.000 ton bijih per hari mulai tahun 2022.

"2020 Grasberg open pit sudah selesai 2022 akan kembali normal, sekitar 210.000 ton bijih per hari, dan akan terus berlanjut sampai 2041," terang Tony dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (19/2).

Tony menjelaskan, produksi PTFI di mulai pada tahun 1973. Saat itu, PTFI hanya mampu memproduksi 4.000 ton bijih per hari. Setelah Kontrak Karya (KK) kedua pada tahun 1991, ditemukan tambang Grasberg. Produksi pun meningkat sampai tahun 2018 dengan tingkat produksi sekitar 178.000 ton bijih.

"Di tahun 2009 mencapai peak sekitar 240.000 ton bijih per hari, dari kapasitas 300.000 ton bijih," terang Tony.

Baca Juga: Tahun ini Kementerian ESDM incar pembangunan jargas 266.070 sambungan rumah (SR)

Dari periode 1973 hingga 2018, Tony mengatakan bahwa PTFI telah mengucurkan investasi tambang senilai US$ 15,8 miliar. "dan untuk tambang bawah tanah US$ 6 miliar-US$ 7 miliar yang sudah kita bangun mulai dari tahun 2004," sebutnya.

Editor: Tendi Mahadi