Melihat Ketimpangan Tajam Antara Pajak Karyawan dan Orang Kaya di Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum lama ini, pemerintah mengotak-atik rincian target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Perpres No 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023.

Salah satu yang menarik perhatian ada pada perubahan target pajak penghasilan (PPh). Dalam beleid tersebut, pemerintah mengerek target PPh Pasal 21 yang identik dengan karyawan menjadi Rp 201,8 triliun. Target tersebut meningkat 17,23% jika dibandingkan dengan target awal sebesar Rp 172,13 triliun.


Sebaliknya, justru pemerintah menurunkan target PPh Pasal 25/29 orang pribadi (OP) menjadi Rp 12,17 triliun. Target ini turun 11,03% jika dibandingkan dengan target dalam Perpres 130/2022 sebesar Rp 13,68 triliun.

Baca Juga: Robert Kiyosaki Bocorkan 5 Alasan Mengapa Orang Kaya Tidak Bekerja Demi Duit

Padahal, jenis pajak ini mencerminkan kontribusi orang kaya terhadap penerimaan pajak, di mana mereka mendapatkan penghasilan di luar gaji atau sering disebut non karyawan.

Berdasarkan riset KONTAN, faktanya sumbangan PPh Pasal 25/29 OP hanya sekitar 0,8% atau sebesar Rp 10,62 triliun dari total penerimaan pajak sebesar Rp 1.387,78 triliun hingga September 2023.

Angka ini tentu sangat timpang jika dibandingkan dengan sumbangan PPh 21 alias pajak karyawan yang menyumbang sebesar Rp 154,90 triliun atau 11,2% dari total penerimaan pajak.  Ini menjadi cermin bahwa kepatuhan pajak di kalangan karyawan atau pekerja formal jauh lebih baik jika dibandingkan kepatuhan orang kaya.

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat sangat menyayangkan adanya perbedaan antara pajak karyawan dan pajak si kaya.

Baca Juga: Total kekayaan 1% orang-orang terkaya di dunia meningkat, kesenjangan semakin curam

Padahal menurutnya, otoritas pajak perlu memaksimalkan pungutan dari wajib pajak orang kaya tersebut yang terbukti kebal diterpa resesi. Tidak hanya bisa menjadi sumber penerimaan pajak yang bisa diandalkan, langkah ini juga berpotensi menurunkan ketimpangan atau gini ratio.

"Memang kebijakan ini perlu ditanyakan langsung kepada pemerintah, mengingat sebelumnya juga pungutan pajak dari wajib pajak orang pribadi kelas atas alias orang kaya terbukti kebal diterpa resesi," ujar Ariawan kepada Kontan.co,id, Jumat (17/11).

"Seharusnya mereka adalah salah sumber penerimaan pajak yang bisa diandalkan, alih-alih malah direvisi. Ini juga untuk menjaga ketimpangan atau gini ratio," imbuhnya.

Ariawan menyebut, penerimaan PPh Pasal 25/29 OP saat pandemi Covid-19 terjadi pun terbukti tahan banting. Tercatat, penerimaan PPh Pasal 25/29 OP pada 2020 mencapai Rp 11,56 triliun atau setara dengan 112,92% terhadap target yang ditetapkan oleh pemerintah.

Baca Juga: Pengenaan PPnBM atas sektor properti dinilai sudah kuno

Editor: Noverius Laoli