Menanti saham sejuta umat bangkit dari tidur



KONTAN.CO.ID - Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) belum berhenti menjadi buah bibir. Setelah merestrukturisasi utang Rp 35 triliun melalui rights issue, ada optimisme BUMI akan kembali bangkit. Apalagi, kini BUMI telah masuk dalam jajaran indeks saham terlikuid, LQ-45. Mudah-mudahan bukan kebangkitan semu.

ADA alasan mengapa saham BUMI mendapat gelar sebagai saham sejuta umat. Satu dekade silam, BUMI sangat populer di kalangan pemegang saham. Bisa dibilang, hampir semua investor, pernah memiliki atau membeli saham ini.

Kala itu, BUMI termasuk saham keping biru. Harga saham BUMI mulai naik sejak awal 2007. Saat itu harga sahamnya Rp 900. Harga BUMI mencapai puncaknya pada awal Juni 2008, yakni di level Rp 8.750,


Namun, hanya dalam waktu singkat, harga BUMI anjlok terhantam krisis keuangan dan pengelolaan utang yang buruk. Saham BUMI bahkan sudah pernah turun menjadi kerak bursa, di level Rp 50 per saham.

Meski banyak investor yang sudah menuai rugi besar-besaran, sampai saat ini BUMI belum kehilangan pamor. Masih banyak yang merindukan BUMI bisa bangkit seperti dulu kala.

Johnny Stant termasuk salah satu investor yang yakin saham BUMI masih menarik. Ia masuk saham BUMI sekitar satu tahun lalu. "Volatilitas dan volumenya menarik, mudah masuk tapi juga mudah keluar," jelas dia.

Ia membeli BUMI ketika saham ini tengah beranjak dari zona gocap. Profit pun datang menghampiri. Johnny membeli BUMI di harga Rp 60 per saham. Tak lama, harga BUMI melonjak menuju level Rp 300. Dalam waktu singkat, ia meraup profit setara harga motor Kawasaki Ninja terbaru.

Investor lainnya, Irwan Ariston Napitupulu, juga sempat icip-icip saham BUMI. Ia kembali masuk saat rencana restruturisasi utang BUMI mulai berhembus. Irwan membeli BUMI di kisaran Rp 300. Lalu, dalam satu hingga dua bulan, ia menjualnya di harga Rp 460. Dalam waktu sesingkat itu, ia meraih gain hingga 53%.

Namun seiring dengan volatilitasnya yang kencang, saham BUMI juga punya banyak risiko. Irwan bercerita, ia pernah memiliki saham BUMI pada 2008. Usai dihantam krisis, saham ini terus melorot. Sehingga, Irwan juga pernah mengalami kerugian dan harus cut loss.

Hal ini memberikannya pengalaman berharga, karena sekarang ia benar-benar bisa membedakan antara trader dan investor. "Sekarang, saya investor, bukan trader. Sudah tidak memiliki saham BUMI lagi. Sesekali masuk, namun kecil dan tidak lama," tuturnya.

Editor: Dupla Kartini