KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kota Bandung bukan hanya menjadi salah satu kota utama tujuan MICE di Indonesia tetapi juga menjadi tonggak penyelenggaraan kegiatan MICE di Tanah Air. Bandung telah mencatatkan sejarah sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 sekaligus menjadikannya kota pertama di Tanah Air yang sanggup menghelat kegiatan MICE berskala internasional. Mengutip siaran pers Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sabtu (5/12), ada cerita menarik dalam perhelatan tersebut dimana angklung menjadi atraksi utama yang dimainkan oleh Presiden Soekarno dan para pemimpin negara-negara di Asia dan Afrika. Kegiatan tersebut bukan saja berhasil memikat para pemimpin dunia yang hadir saat itu tetapi juga mempromosikan alat musik tradisional Indonesia ke dunia. Kini setidaknya ada 42 negara di dunia yang mengenalkan permainan angklung, bahkan di Korea Selatan angklung telah dikenalkan sejak masih Sekolah Dasar.
Saat itu Daeng Soetigna, guru dari Udjo Ngalagena (pendiri Saung Angklung Udjo) terjun langsung memperkenalkan angklung kepada seluruh delegasi negara peserta Konferensi Asia-Afrika. Beliau memimpin para pemimpin dunia dengan menjadi dirigen permainan angklung. Pada momen bersejarah itu, angklung menyatukan para pemimpin negara peserta dan menciptakan perdamaian melalui kerja sama yang kompak.
Baca Juga: Wisata edukasi Predator Fun Park, pas buat anak-anak Momen tersebut kemudian dikenal sebagai pertunjukan angklung yang pertama kali mendunia dan menorehkan nama Daeng Soetigna yang tak terpisahkan dari Konferensi Asia-Afrika. Kata angklung berasal dari bahasa Sunda yaitu ‘angkleung-angkleungan’ yaitu gerakan pemain angklung, serta dari suara ‘klung’ yang dihasilkan instrument bambu ini. Angklung sebenarnya merupakan pengembangan alat musik calung, yaitu tabung bambu yang dipukul, sedangkan angklung merupakan tabung bambu yang digoyang sehingga menghasilkan hanya satu nada untuk setiap instrumennya. Mengingat angklung hanya bernada pentatonis (da mi na ti la) maka dibutuhkan puluhan orang untuk memainkan angklung agar terdengar harmonis. Kini dengan teknik tertentu bisa dimainkan oleh beberapa orang saja. Tahun 1938 Daeng Soetigna memodifikasi suara angklung menjadi diatonis (do re me fa so la ti). Sejak saat itu angklung mulai dikenal dan menemukan momentumnya saat ditampilkan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Angklung terdiri dari 2 hingga 4 tabung bambu yang dirangkai menjadi satu dengan tali rotan. Tabung bambu dikuir detail dan dipotong sedemikian rupa oleh pengrajin angklung untuk menghasilkan nada tertentu ketika bingkai bambu digoyang. Setiap angklung menghasilkan nada atau akord yang berbeda sehingga beberapa pemain harus bekerja sama untuk menghasilkan melodi yang indah.
Angklung kini lebih sering ditampilkan dalam bentuk orchestra dan semakin banyak dibina di banyak sekolah dimana salah satunya berkat Saung Angklung Udjo (SAU). SAU adalah sebuah tempat dimana seni angklung berkembang dengan dinamis dan memukau dunia. Tidak hanya memainkan musik instrumen tradisional tetapi juga memainkan lagu-lagu modern yang popular. Di sini Anda dapat menonton pertunjukan kesenian tradisional Sunda sekaligus belajar lebih banyak tentang angklung.
Baca Juga: 10 Warisan budaya tak benda Indonesia yang diakui UNESCO Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan sanggar tempat pertunjukkan seni tradisional, laboratorium pendidikan sekaligus sebagai atraksi budaya khas Jawa Barat. Tempat ini mengandalkan semangat gotong royong antarwarga-nya. SAU adalah contoh bagaimana sebuah sanggar seni berhasil bertransformasi membina kekayaan budaya lokal sehingga bukan hanya bertahan dari desakan arus globalisasi tetapi juga menjadi sebuah daya tarik wisata yang memikat. Di SAU Anda dapat merasakan kesegaran alam, kicauan burung dan kegembiraan anak-anak dalam pementasan angklung. Anda harus merasakan suara Angklung digoyang dengan tangan Anda sendiri karena alat musik ini menebar bunyi indah yang khas sekaligus menebarkan kebahagiaan. Saat Anda gerakan maka angklung menebar berjuta harmoni yang menyatu dalam suasana riang. Alunan rumpun bambu Saung Angklung Udjo berhasil menjadi representasi sketsa keindahan dan keceriaan bumi Tatar Sunda.
Editor: Noverius Laoli