KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki tahun 2024, sejumlah saham masih terlelap di level gocap. Meski tanpa cap notasi khusus dan tidak tergelincir ke papan pemantauan khusus, tapi sederet saham ini belum bisa beranjak meninggalkan level harga Rp 50-an. Padahal, beberapa saham merupakan emiten holding grup besar, seperti PT MNC Asia Holding Tbk (BHIT) dari Grup MNC dan PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) dari Grup Bakrie. Kemudian ada PT Smartfren Telecom Tbk (FREN), meski dalam beberapa hari terakhir saham emiten telekomunikasi dari Grup Sinarmas ini kembali aktif. Masih dari konglomerasi milik taipan Hary Tanoesoedibjo, ada PT MNC Energy Investments Tbk (IATA) yang harga sahamnya sempat terbang pada tahun 2022. Lalu dari Grup Mahaka yang terafiliasi dengan Erick Thohir, PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI).
Penghuni level gocap lainnya mayoritas diisi saham-saham anyar yang belum lama melantai di Bursa Efek Indoneisa (BEI). Di antaranya PT Jasnita Telekomindo Tbk (JAST), PT Sari Kreasi Boga Tbk (RAFI), PT Kusuma Kemindo Sentosa Tbk (KKES), PT Haloni Jane Tbk (HALO), PT Lini Imaji Kreasi Ekosistem Tbk (FUTR), PT Black Diamond Resources Tbk (COAL), PT GTS Internasional Tbk (GTSI), dan PT Hetzer Medical Indonesia Tbk (MEDS).
Baca Juga: IPO Produsen Sepeda dan Motor Listrik United (UNTD), Incar Dana Hingga Rp 400 Miliar CEO Edvisor Profina Visindo, Praska Putrantyo mengamati setidaknya ada 119 saham yang bersarang di level gocap. Dari jumlah itu, 30 saham tidak memiliki notasi khusus. Sementara 89 saham punya notasi khusus, yang mana 48 di antaranya memiliki status "X" atau ada di papan pemantauan khusus. Bagi saham-saham gocap yang tidak memiliki notasi khusus dari BEI, Praska melihat kondisi itu karena pelaku pasar bersikap
wait and see. Khususnya terhadap prospek kinerja emiten. "Yang dominan direspons investor adalah potensi kinerja emiten ke depan, dimana hal itu memengaruhi valuasi nilai intrinsik saham saat ini," kata Praska kepada Kontan.co.id, Minggu (14/1). Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas memandang penyebab utama saham tertidur di level gocap adalah faktor fundamental, ada penurunan kinerja atau masih merugi. Termasuk untuk saham-saham yang tergolong masih baru di bursa, ketika mereka listing performa fundamental, valuasi, kinerja atau prospek bisnisnya tidak menarik. Bagi saham yang sudah lama listing, Sukarno menyarankan untuk cermati kepemilikan publiknya. Jika sudah di atas 50%, perlu waspada karena dari sisi market maker susah untuk menggerakkan saham tersebut. "Ketika minim sentimen beriringan pelaku pasar menilai waktunya jual, secara bersamaan perspektif itu menekan harganya lebih kuat," terang Sukarno.
Baca Juga: Proyek Tanggul Laut Raksasa Pulau Jawa Menelan Anggaran Rp 778 Triliun Sedangkan Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan menyoroti tiga faktor utama yang membuat saham mendekap di level gocap, meski tidak dalam papan pemantauan khusus.
Pertama, performa emiten yang membuat pelaku pasar cenderung melabeli nilai perusahaan pada harga tersebut. Pada kategori ini saham masih ditransaksikan di pasar reguler, sampai kepada harga offer terendahnya di harga Rp 50.
Kedua, pengenalan emiten yang kurang kepada pelaku pasar. Kategori ini ditandai dengan sangat minimnya transaksi atau likuiditas, yang bisa juga diistilahkan sebagai saham-saham tidur. "Meskipun emiten mengalami pertumbuhan laba atau sebaliknya, tetap tidak akan direspons oleh harga sahamnya," terang Alfred.
Editor: Noverius Laoli