Pandemi Covid-19 membuat orang-orang di seluruh dunia rentan terkena penipuan



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Tingkat kejahatan secara online atau cyber cime meningkat pesat secara global di tengah pandemi. Dari AS hingga Inggris dan dari Hong Kong hingga Australia, para advokasi konsumen dan regulator setempat telah memperingatkan adanya lonjakan mengkhawatirkan dari kasus kejahatan penipuan.

Para peneliti telah lama mengindentifikasi penyebab berkembangnya kejahatan penipuan pasca sebuah bencana. Pergolakan emosional, kesulitan keuangan dan hilangnya dukungan yang biasa diterima dari networking jadi penyebab orang lebih rentan terkena kasus penipuan.

Berdasarkan data Lembaga Fraud, orang-orang Amerika telah kehilangan US$ 161 juta hingga saat ini karena penipuan yang terkait dengan kondisi Covid-19. Sementara di Inggris telah kehilangan US$ 21,8 juta dan  di Australia kerugiannya  mencapai US$ 3,6 juta.


Amy Nofziger, Direktur AARP, Lembaga Fraud Watch Network di AS mengatakan, orang-orang lebih rentan terhadap penipuan di tengah pandemi ini dibandingkan dengan kondisi normal. "Ini karena orang-orang yang berada di bawah tekanan berpikir secara emosional, tidak lagi secara kognitif," katanya dikutip Bloomberg, Jumat (23/10).

Baca Juga: Orang ini masuk jajaran 400 orang terkaya di dunia berkat pandemi Covid-19

Di Hong Kong, angka penipuan melonjak 111% sepanjang paruh pertama tahun ini. Bahkan di Singapura yang terkenal sebagai salah satu kota teraman di dunia, lonjakan scamming menurut Kepolisian negara itu meningkat 140%. Itu yang membuat tingkat kejahatan secara keseluruhan di negara itu meningkat.

Kebijakan pemerintah untuk menekan dampak Covid-19 terhadap ekonomi terbukti jadi target utama para para penjahat atau scammer. Modusnya mulai dengan menawarkan untuk mempercepat pembayaran stimulus di AS dengan biaya tertentu hingga mencoba memperoleh data pribadi yang dapat digunakan untuk mengakses dana pensiun di Australia.

"Ada begitu banyak uang yang mengalir dari pemerintah, dengan pemberian paket bantuan lewat sistem kesejahteraan, ini jelas merupakan target menarik bagi pada scammer," kata Russell Smith, Kriminolog di Institute Kriminologi Asutralia. Ia perkirakan, kerugian akibat kejahatan skimming tersebut akan terus meningkat.

Kasus Mohammed Khan di Inggris bisa dilihat sebagai contoh bagaimana penipuan begitu mudah dilakukan di tengah kondisi pandemi. Saat Inggris terhuyung-huyung di ambang lockdown pada akhir Maret lalu, pemerintah gencar mengeluarkan  stimulus guna meredam dampak pandemi, mulai dari dukungan upah bagi pekerja hingga keringan pembayaran pajak.

Baca Juga: Serangan Joe Biden: Saya ingin Amerika aman dari Donald Trump

Khan, mahasiwsa politik berusia 20 tahun, melihat ada peluang di tengah kondisi itu. Ia mulai mengirimkan pesan teks  yang menjanjikan pengembalian pajak yang ditautkan ke situs web palsu yang hampir identik dengan web asli milik pemerintah. Sehingga pesan itu seolah-olah memang dikirimkan oleh pemerintah. Pesan itu meminta data pribadi, termasuk nama ibu kandung.

Dengan mengirim 1.200 pesan selama dua hari membuat Khan berhasil memperoleh 191 data pribadi. Secara keseluruhan ia berhasil menggondol 10.019,17 pound dari 49 rekening. Seorang spesialis unit kejahatan keuangan London mengetahui aktivitas tersebut dan pada Juli Khan dijatuhi hukuman 30 minggu penjara.

Editor: Noverius Laoli