Pelaku industri hilir kelapa sawit dukung pemerintah lanjutkan pungutan ekspor



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pelaku usaha industri hilir kelapa sawit dan petani meminta pemerintah tetap melanjutkan skema pungutan ekspor yang saat ini berjalan di dalam PMK 191/PMK.05/2020.

Pungutan ekspor sudah terbukti mendorong industri hilir kelapa sawit (IHKS) dan menjaga stabilitas harga pasar sawit dalam negeri baik produk minyak goreng di level industri serta Tandan Buah Segara (TBS) petani. 

“Dengan struktur pungutan ekspor sekarang, ekspor dalam bentuk produk hilir sawit meningkat pesat. Begitu pula investasi hilir terus bertambah di dalam negeri. Industri hilir sawit akan memberikan nilai tambah yang  lebih besar dari aspek penyerapan tenaga kerja, pajak, dan devisa,” ujar Bernard Riedo, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dalam keterangan tertulis, Senin, (24/5).


Kebijakan tarif pungutan ekspor sawit yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 dinilai sudah on the right  track atau sejalan dengan arah program hilirisasi.

Baca Juga: Apolin optimistis kinerja industri oleokimia bertumbuh semakin positif pada 2021

Bernard Riedo mengatakan, skema tarif pungutan sawit yang lebih tinggi kepada produk hulu, dan tarif lebih rendah untuk produk hilir sangat mendukung daya saing ekspor produk hilir Indonesia di pasar global.

“GIMNI meminta pemerintah supaya konsisten mengimplementasikan PMK nomor 191/PMK.05/2020 yang mulai efektif berjalan pada 10 Desember 2020. Sebab aturan ini sudah terbukti mampu meningkatkan daya saing produk  hilir sawit Indonesia baik itu berupa oleofood.

Dan juga oleochemicals  di pasar global sekaligus menjaga stabilitas harga produk sawit untuk makanan di pasar dalam negeri, yang bermuara terciptanya kebijakan hilir sawit,” jelas Bernard.

Berdasarkan data yang dikumpulkan GIMNI, sepanjang Januari sampai April 2021 komposisi ekspor produk hilir (high value add)  dalam bentuk volume di atas  80% - 90%. Sedangkan, ekspor minyak sawit mentah (CPO & CPKO, low value add) rerata menurun drastis ke arah 10%-20%.

Pada Januari, ekspor produk CPO dan turunannya mencapai 2,861 juta ton (24% Crude Oils/CO dan Palm Processed Oils/PPO sebesar 76%). Selanjutnya Februari, volume ekspor sawit berjumlah 1,994 juta ton (crude oils 20% dan PPO sebesar 80%). 

Baca Juga: GIMNI proyeksikan produksi CPO tumbuh 3% pada tahun 2021

Volume ekspor sawit dan turunannya di Maret naik menjadi  2,63 juta ton (crude oils 12% dan PPO 88 %).  Bulan April, volume ekspor kembali naik menjadi  3,078 juta ton (crude oils 10,6 % dan PPO 89,4 %).

“Tingginya ekspor sawit dalam bentuk hilir akan memberikan nilai tambah lebih besar bagi industri sawit di dalam negeri,” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif  GIMNI.

Sahat menjelaskan bahwa regulasi pungutan ekspor memberikan insentif  yang cukup attractive untuk  mengekspor produk hilir. Alhasil, peningkatan nilai tambah di sektor hilir akan berkontribusi bagi banyak hal antara lain nilai devisa , lapangan kerja dan pajak negara. Dan elemen ini sering dilupakan oleh  sebagian para pebisnis sawit Indonesia.

“Semenjak Januari sampai Mei ini, harga sawit terus merangkak naik. Dari harga tender CPO Rp 9.900 per kilogram di Dumai, sekarang sudah di kisaran Rp 11.700 per kilogram. Pungutan ekspor juga ikut naik sebagai dampak kenaikan harga,” ujarnya.

Editor: Noverius Laoli