Pemberian Tax Amnesty untuk Pengemplang Pajak Turunkan Kredibilitas Pemerintah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kalangan pengamat pajak memberikan kritik keras terhadap rencana Dewan Perwakilan (DPR) bersama pemerintah yang akan kembali memberikan program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty Jilid III.

Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menilai bahwa rencana pemberian program tersebut akan mencederai rasa keadilan di kalangan Wajib Pajak yang telah patuh.

Menurutnya, langkah tersebut justru berisiko merusak upaya penegakan kewajiban pajak di Indonesia, lantaran masyarakat akan berpikir bahwa kepatuhan membayar pajak tidak  lagi dihargai.


Baca Juga: Tax Amnesty Jilid III Ditargetkan Berjalan di Tahun 2025

"Pastinya akan membuat Wajib Pajak berpikir buat apa untuk patuh, toh ada tax amnesty lagi?," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Selasa (19/11).

Fajry menilai bahwa kebijakan pengampunan pajak di tengah rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan justru akan memperburuk rasa ketidakpuasan masyarakat.

"Saya yakin, rakyat pasti akan murka," katanya.

Di sisi lain, program Tax Amnesty yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2016 dan dilanjutkan dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada tahun 2022 dinilai Fajry tidak memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan pajak.

Baca Juga: Pemerintah Targetkan Tax Ratio Hingga 20% pada 2045

"Kalau pun ada lagi (TA Jilid III), pasti penerimaannya akan lebih kecil dibandingkan PPS tahun 2022 lalu. Benar-benar kebijakan tidak masuk akal," imbuh Fajry.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai bahwa pemerintah sebaiknya tidak melanjutkan program Tax Amnesty atau program serupa, setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Ariawan menyebut, ada beberapa alasan penting yang mendasari pandangannya ini, salah satunya adalah potensi menurunnya kredibilitas pemerintah di mata masyarakat.

Menurut Ariawan, pemerintah telah menunjukkan ketidakkonsistenan dalam kebijakan perpajakan. Seperti yang diketahui, pada tahun 2022 lalu, pemerintah mendorong masyarakat untuk mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dengan janji bahwa setelah itu tidak akan ada lagi pengampunan pajak.

Namun, jika Tax Amnesty kembali digulirkan, ini menunjukkan inkonsistensi yang bisa merusak kepercayaan Wajib Pajak terhadap pemerintah. "Inkonsistensi ini akan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata masyarakat, termasuk pembayar pajak," kata Ariawan.

Baca Juga: RUU Pangan Masuk Prolegnas 2025, Memperkuat Bulog dan Swasembada Pangan

Lebih lanjut, Ariawan mengingatkan bahwa pengulangan program Tax Amnesty ini akan menciptakan ketidakadilan, terutama  bagi Wajib Pajak yang selama ini patuh dan jujur dalam menunaikan kewajiban perpajakannya.

Editor: Noverius Laoli