Pemerintah beri pendapat atas uji materi UU Akses Informasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sidang uji materi atas Undang-Undang No. 9 /2017 tentang Akses Informasi Keuangan kembali dilanjutkan. Kali ini, agenda persidangan adalah mendegarkan pendapat pemerintah atas gugatan yang diajukan pemohon.

Dalam sidang tersebut, pemerintah yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Hadiyanto mengatakan pemohon tidak memenuhi seluruh syarat kualifikasi yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Syarat tersebut meliputi kerugian hal atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan uji materi Undang-Undang.

"Meski pemerintah berpendapat pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum, namun kami akan tetap memberikan pendapat kami," ujar Hadiyanto, Senin (5/1).


Berdasarkan surat keterangan presiden yang dipaparkan oleh Hadiyanto, pajak merupakan sumber pendanaan negara yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.

Namun, upaya pengumpulan pajak ini mengalami hambatan lantaran maraknya praktik penghindaran dan pengelakan pajak oleh wajib pajak. Hal ini bisa dilakukan dengan adanya kondisi keterbatasan akses informasi keuangan oleh otoritas perpajakan.

"Salah satu modus pengelakan pajak adalah menggeser profit atau menyimpan uang di negara suaka pajak," tambah Hadiyanto.

Upaya pengelakan pajak ini menjadi perhatian dunia karena menggerus basis penerimaan pajak hampir di semua negara. Karena itu, negara-negara anggota G20 dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pun memberikan standard pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau Automatic Exchange of Financial Account Information (AEoI).

Undang-Undang No. 9/2017 ini menjadi syarat Indonesia dalam mengimplementasikan AEoI tersebut. Lebih lanjut Hadiyanto mengatakan, dengan adanya keterbatasan informasi keuangan, otoritas keuangan ini memberikan kontribusi terhadap rendahnya tax ratio di Indonesia.

Dalam tiga tahun terakhir, tax ratio Indonesia cenderung mengalami penurunan dan lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Tujuan UU No. 9/2017 ini adalah untuk mendorong pemanfaatan basis data perpajakan dari lembaga keuangan dan negara mitra AEoI. Tak hanya itu, undang-undang ini pun bertujuan untuk mendukung upaya pengumpulan dan penerimaan pajak sehingga tax ratio meningkat.

Menciptakan keadilan dalam sistem pengumpulan pajak, memenuhi komitmen Indonesia dalam AEoI. serta menjaga keberlanjutan efektivitas program pengampunan pajak.

Hadiyanto menambahkan, pemohon uji materi telah salah memahami ketentuan pasal 1 dalam UU No 9. "Pemohon hanya memahami secara sempit peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus dipahami secara luas," tutur Hadiyanto.

Dia bilang, pemohon juga salah mengartikan informasi keuangan yang diatur dalam pasal 1 lampiran UU No 9/2017 dan informasi keuangan yang diatur dalam pasal 1 angka 29 UU KUP. Pemaknaan informasi keuangan dalam UU No. 9/2017 dan UU KUP tidak saling bertentangan.

Tak hanya itu, pasal 1 lampiran UU No.9/2017 juga tidak mencampurkan yurisdiksi tata hukum nasional dan internasional. Karena itu pemohon dianggap keliru memaknai hal ini sebagai dasar pernyataannya.

Kekhawatiran pemohon yang menyatakan bahwa seluruh informasi keuangan milik seluruh orang yang ada di Indonesia yang bisa diberikan kepada asing pun dianggap tidak tepat karena yang dipertukarkan adalah sebatas informasi keuangan milik subjek pajak luar negeri, yaitu nasabah asing yang memiliki aset di Indonesia saja dan sebaliknya.

Kewenangan yang diberikan kepada dirjen pajak adalah kewenangan atribusi yang langsung diberikan oleh pembentuk UU. "Ini merupakan kewenangan open legal policy, yang sesuai dengan prinsip CRS agar pelaksanaan AEoI berlangsung efektif. Sehingga dalil pemohon yang mengatakan mandat kepada Dirjen Pajak untuk mendapatkan informasi tidak sesuai mandat konstitusi adalah tidak benar," lanjut Hadiyanto.

Editor: Yudho Winarto