Pemerintah diminta tegas menindak produsen makanan yang gunakan label no palm oil



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA, Pencantuman label No Palm Oil tidak diperbolehkan karena melanggar regulasi pemerintah di Undang-Undang (UU) Pangan dan Peraturan Badan Pengawas Obat dan (BPOM).

Untuk itu, pemerintah harus menindak tegas produsen makanan yang mencantumkan label No Palm Oil di kemasannya. Pemakaian  label ini  merupakan kampanye hitam yang bertujuan menekan daya saing sawit.

Guru Besar Universitas Katolik Santo Thomas Sumatra Utara,Posman Sibuea, menyatakan pemerintah Indonesia harus menjaga kelapa sawit dari kampanye hitam karena bisa menurunkan minat masyarakat untuk mengkonsumsinya. Peredaran produk makanan berlabel No Palm Oil akan merugikan pelaku industri termasuk juga petani. 


Ancaman label palm oil free itu muncul sejak tahun 2017 hingga kini terus terjadi. Sebagai contoh, Pod Chocolate yang mencantumkan label No Palm Oil di kemasan salah satu produk. Produk ini dimiliki oleh ekspatriat yang membuka bisnisnya di  Bali. 

Baca Juga: Pembeli utama hindari produsen minyak sawit utama Malaysia, pasca tuduhan kerja paksa

“Pencantuman label No Palm Oil jelas melanggar regulasi pemerintah seperti UU Pangan dan peraturan BPOM. Seharusnya, pemerintah melalui BPOM dapat menindak tegas perusahaan yang mencantumkan label No palm Oil,” jelas Posman dalam Dialog Webinar Majalah Sawit Indonesia bertemakan “Kontribusi Sawit Bagi Pemenuhan Gizi Indonesia dan Dunia”, Selasa (23/2) seperti dikutip.

Dialog ini menghadirkan empat pembicara lainnya yaitu Purwiyatno Hariyadi, Guru Besar IPB University, Dhian Dipo, Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes RI, Sri Raharjo, Guru Besar UGM, Fajar Marhaendra, R&D Product Application Manager APICAL Group (PT Asianagro Agungjaya)

Posman menuturkan bahwa sawit ini merupakan minyak masa depan sebagai golden crop. Produktivitasnya sangat tinggi dibandingkan minyak nabati lain. “Produktivitas minyak sawit tiga sampai empat kali lebih tinggi daripada minyak kedelai dan bunga matahari,” ujar dia.

Dia menambahkan bahwa kampanye negatif terhadap sawit kian gencar karena harganya murah dan tidak sebagus dengan minyak nabati lain.” Akhirnya muncul isu minyak sawit penyebab penyakit jantung dan kegemukan, sehingga minyak sawit dilabeli tidak menyehatkan,” ujar Posman.

Isu ini dibesar-besarkan oleh masyarakat Uni Eropa untuk mendiskreditkan kelapa sawit. “(Kekurangan) kecil minyak sawit  itu dibesar-besarkan untuk menutupi kelemahan minyak nabati milik mereka (Eropa),” tegas dia.

Baca Juga: Harga CPO Mencetak Rekor Tertinggi Delapan Tahun Terakhir, Ada Tantangan Mengadang

Selain itu, kata dia, sawit menjadi backbone agro industri di Indonesia dan Malaysia. Hampir 30 juta orang menggantungkan hidupnya dari industri sawit dari hulu hingga hilir. “Industri ini berkontribusi terhadap lapangan kerja dalam negeri,” jelasnya.

Purwiyatno Hariyadi Guru Besar IPB University mengungkapkan sawit sebagai bahan makanan berkontribusi dalam pemecahan masalah gizi dunia. Ada beberapa tantangan yang harus diatasi oleh industri sawit. Diantaranya keamanan pangan, kesehatan dan sustainability.

“Kita harus pastikan produk turunan sawit memenuhi persyaratan keamanan pangan. Sampai sekarang, sekitar 75-85 persen penggunaan sawit untuk sektor pangan,” ujar dia.

Editor: Noverius Laoli