Pemerintah perbarui beberapa aturan PPh pasal 26, PPN, dan tata cara perpajakan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah memperbarui aturan pajak penghasilan (PPh) Pasal 26, ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN), dan ketentuan umum tata cara perpajakan. Tujuannya untuk mendukung kemudahan berusaha di Indonesia sebagaimana visi pemerintahan saat ini.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha. Beleid ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam hal PPh Pasal 26, pemerintah akan memberikan relaksasi pungutan pajak atas bunga obligasi internasional lebih rendah dari ketentuan sebelumnya yang mematok tarif sebesar 20%. Tarif PPh Pasal 26 atas surat utang internasional itu juga bisa disesuaikan dengan tarif yang mengacu pada persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty.


Adapun bunga obligasi internasional yang mendapatkan relaksasi tersebut meliputi tiga ketentuan. Pertama, bunga dari obligasi dengan kupon sebesar jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.

Baca Juga: Simak Kaleidoskop sepanjang 2020 Ditjen Pajak

Kedua, diskonto dari obligasi dengan kupon sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan. Ketiga, diskonto dari obligasi tanpa bunga sebesar selisih lebih harga jual atau nominal di atas harga perolehan obligasi.

Ketentuan, relaksasi PPh Pasal 26 tersebut berlaku untuk wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 26 atas bunga obligasi internasonal sebagaimana dimaksud atau (5) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan,” bunyi Pasal 3 Ayat 10 Bab II.

Selain itu, PPh Pasal 26 juga mengecualikan penghasilan berupa dividen dari objek pajak. Ini berlaku untuk wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan dalam negeri. Selain itu, PPh Pasal 26 dikecualikan atas penghasilan setelah pajak dari suatu BUT di luar nergeri dan penghasilan aktif dari luar negeri yang tidak melalui BUT.

Dividen yang dikecualikan dari objek PPh merupakan dividen yang dibagikan berdasarkan rapat umum pemegang saham, atau dividen interim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  

Baca Juga: Begini upaya reformasi pelayanan perpajakan

Aturan lebih lanjut dalam RPP ini menginduk kepada UU 2/2020 yang menyebutkan untuk mendapatkan pengecualian PPh atas dividen nada syaratnya. Penghasilan setelah pajak diinvestasikan paling sedikit sebesar 30% dari laba setelah pajak.

Sementara, untuk dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek harus diinvestasikan sesuai dengan proporsi kepemilikan saham yang diinvestasikan di wilayah NKRI kurang dari 30% dari jumlah laba setelah pajak di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak (DJP).

Editor: Noverius Laoli