Penerimaan Negara 2026 Bertumpu pada Pajak, Perluasan Basis Pajak Mendesak Dilakukan



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai postur penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 menuntut upaya ekstra, seiring dengan target pendapatan yang dipatok Rp 3.153,6 triliun.

Target pendapatan tersebut dinilai agresif karena sangat bertumpu pada akselerasi penerimaan pajak.

Berdasarkan catatan Permata Institute for Economic Research (PIER), kenaikan penerimaan negara dalam APBN 2026 terutama diharapkan berasal dari pajak, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), melalui upaya optimalisasi pemungutan.


Baca Juga: Kejar Utang Wajib Pajak Konglomerat, Ditjen Pajak Berhasil Amankan Rp 4,12 Triliun

“Namun pengalaman 2025 menunjukkan pajak neto bisa tertekan oleh moderasi harga komoditas, restitusi, dan dinamika kebijakan administrasi. Karena itu, 2026 idealnya lebih bertumpu pada perluasan basis dan perbaikan kepatuhan daripada menambah beban kelompok yang sudah patuh,” ungkap Josua kepada Kontan, Minggu (28/12/2025).

Josua menjelaskan rencana kerja pemerintah seperti perluasan jaring pajak melalui sistem Coretax, pemburuan basis pajak dari ekonomi bayangan atau shadow economy, serta pemanfaatan kecerdasan buatan pada dasarnya sudah berada di jalur yang tepat.

Menurutnya kunci kenaikan pendapatan negara terletak pada kualitas data, integrasi sistem, dan penurunan kebocoran penerimaan.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa perubahan sistem besar juga membawa risiko gangguan layanan, terutama pada tahap awal implementasi.

"Sehingga perlu masa transisi yang jelas, dukungan teknis ke wajib pajak, dan tata kelola data lintas instansi yang kuat agar pencocokan data meningkatkan kepatuhan tanpa menaikkan biaya kepatuhan," ungkap Josua.

Baca Juga: Setoran Pajak Pindaman Daring dan Kripto Tembus Rp 5,95 Triliun hingga Oktober 2025

Pada sisi perdagangan yang melibatkan Direktorat Bea Cukai, dokumen APBN Kita, menyinggung bahwa pemanfaatan kecerdasan buatan dapat memunculkan tantangan baru, seperti praktik undervaluasi.

Menurut Josua, pelajaran tersebut relevan bagi perpajakan karena teknologi juga berpotensi dimanfaatkan untuk menghindari pajak apabila pengawasan tertinggal.