Pengamat: Kebutuhan teknologi jadi faktor harga listrik PLTSa mahal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 menerapkan harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebesar US$ 13,35 sen per kWh.

Merujuk beleid tersebut, Pasal 11 ayat 1 huruf (a) berbunyi untuk besaran kapasitas sampai dengan 20 MW yang terinterkoneksi pada jaringan tegangan tinggi, jaringan tegangan menengah, atau jaringan tegangan rendah.

Selanjutnya, huruf (b) berbunyi untuk besaran kapasitas lebih dari 20 MW yang terinterkoneksi pada jaringan tegangan tinggi atau jaringan tegangan menengah dengan perhitungan sebagai berikut: Harga pembelian (US$ cent/kWh)= 14,54 - (0,076 x besaran kapasitas PLTSa yang dijual ke PT PLN). 


Adapun, harga pembelian itu merupakan harga yang digunakan dalam perjanjian jual beli tenaga listrik tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi harga serta berlaku pada saat PLTSa dinyatakan telah mencapai tahap Commercial Operation Date (COD) sesuai dengan jadwal yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.

Baca Juga: PLTS bakal jadi andalan, kesiapan industri pemasok mulai disorot

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan tingginya harga jual listrik ini dikarenakan mahalnya biaya pengolahan sampah. Selain itu juga dibutuhkan teknologi berbiaya tinggi untuk pengolahan sampah menjadi energi listrik.

Fabby mencontohkan untuk teknologi incinerator secara rata-rata membutuhkan biaya US$ 4.000 hingga US$ 8.000 per kw listrik yang dihasilkan.

Demi menekan harga dan mendorong proyek, Fabby menilai cukup banyak subsidi yang diberikan salah satunya tipping fee.

"Oleh pemerintah diberikan subsidi tipping fee akan beri Rp 500.000 per ton," jelas Fabby kepada Kontan.co.id, Kamis (24/6).

Dia menambahkan, ketentuan tipping fee ini juga membebani pemerintah daerah karena keterbatasan anggaran yang ada.

Editor: Anna Suci Perwitasari