Perlu Perbaiki Tata Niaga Nikel Indonesia agar Lebih Punya Nilai Jual di Dunia



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Indonesia sebagai salah satu negara penyimpan cadangan nikel terbesar di dunia menjadi rebutan Amerika Serikat (AS) dan China. Kedua negara itu melihat prospek nikel sangat strategis dan vital dalam mendukung transisi energi.

Asal tahu saja, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, diikuti dengan Filipina dan Rusia. Menurut Badan Geologi Amerika Serikat (USGS), produksi nikel Indonesia mencapai 1,6 juta metrik ton (MT) pada 2022, sedangkan Filipina hanya 330.000 MT, dan Rusia 220.000 MT.

Berdasarkan data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), cadangan nikel di Indonesia sekitar 4,5 miliar ton yang terdiri dari 900 juta ton untuk kadar tinggi (kandungan nikel di atas 1,8%) dan 3,6 miliar ton untuk nikel kadar rendah atau nikel limonit.


Nikel banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri baterai kendaraan listrik hingga baterai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) karena dikenal sebagai jenis logam transisi yang kuat, padat dan tahan terhadap panas dan korosi. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan kekayaan nikel di Tanah Air mencapai US$ 200 miliar, tentu ini nilai yang cukup besar untuk dikembangkan pemerintah.

Melihat prospek yang cerah itu, baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden AS Joe Biden di Washington DC menjelang KTT APEC di San Fransisco. Salah satu yang dibahas ialah potensi kesepakatan mineral kritis  dalam mendorong perdagangan nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik.

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut negosiasi terhadap sikap AS yang ‘mengucilkan’ nikel Indonesia melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA).

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi menyatakan, salah satu hasil penting dari pertemuan itu ialah disepakatinya penguatan kerja sama mineral kritis. “Untuk itu akan dibentuk rencana kerja (work plan) menuju pembentukan Critical Mineral Agreement (CMA),” jelasnya dalam keterangan resmi, Selasa (14/11).

Baca Juga: Jokowi Ajak Pebisnis APEC Investasi di Indonesia

Jika CMA sudah dimiliki, Indonesia dapat menjadi pemasok kebutuhan baterai kendaraan listrik di AS secara berkesinambungan untuk jangka panjang.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengemukakan, prinsipnya kedua negara setuju membuat critical mineral program. Akan ada kelompok kerja dari dua belah pihak agar semua bisa dirumuskan dan berjalan.

“Mineral yang akan difokuskan nikel dahulu, yang paling kritikal karena paling dibutuhkan untuk mendukung transisi energi,” ujarnya saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (17/11).

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menilai, kesepakatan ini harus dicapai oleh kedua belah pihak sehingga produk hilirisasi nikel Indonesia bisa diterima di pasar Amerika dan mendapatkan fasilitas keringanan yang sebelumnya telah dinikmati.

Rizal menyebutkan, diskriminasi nikel oleh Amerika Serikat terutama karena dominasi perusahaan China yang menguasai hilirisasi di Indonesia. Nah, kesepakatan ini diharapkan dapat mengurangi dominasi itu.

“Karena nikel banyak dikuasai perusahaan dari China sebagai pemegang saham mayoritasnya. Hal ini yang menghambat Indonesia mendapatkan fasilitas kepabeanan yang selama ini didapatkan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/11).

Sebagaimana diketahui China merupakan pemain utama dunia untuk mineral strategis yang dibutuhkan industri maju. AS tidak ingin ketergantungan pada China untuk kebutuhan bahan baku tersebut.

Lantas jika kesepakatan antara AS dan Indonesia berjalan, Rizal melihat, potensi ekspor produk turunan nikel ke negeri Paman Sam sangat besar.

Semenjak dapat memproduksi baku baterai yakni nickel matte dan mixed hydroxide precipitate (MHP) nilai ekspor nikel dari Indonesia melejit cukup tinggi bahkan mencapai rekornya pada 2022.

Baca Juga: Begini Prospek Vale Indonesia (INCO) Usai Keputusan Divestasi 14% Saham ke MIND ID

Sebagai gambaran, berdasarkan data Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), produksi nikel matte sempat mengalami kenaikan signifikan hingga 27,36% dari sebelumnya 72.000 ton di 2019 menjadi 91.700 ton di 2020.

Adapun berdasarkan data MODI, produksi nikel matte di 2021 menurun menjadi 82.560 ton dan di 2022 kembali turun menjadi 75.960 ton.

Meski produksi nikel matte melandai, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan realisasi ekspor nikel dan produk olahannya melejit lebih dari 300% year on year (yoy) pada 2022 yakni senilai US$ 5,97 miliar dari sebelumnya US$ 1,27 miliar di 2021.

Dalam data Kementerian Perindustrian, produksi nikel berbasis hidrometalurgi sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik yakni MHP kapasitas produksinya baru sekitar 915.000 ton per tahun. Seluruh produksi MHP diekspor karena belum ada industri  dalam negeri yang bisa mengolahnya.

Editor: Khomarul Hidayat